Kumpulan Cerpen
Senin, 13 Juni 2011
Ketampanan Habibi
Bulan purnama 11 Mei 1985 Fatimah melahirkan dirumah bibinya yang terletak di Desa Ukir Sari Jawa Tengah, tanpa didampingi seorang suami karena suaminya sudah meninggal dunia akibat kecelakaan dua tahun yang lalu. Lahir seorang anak laki-laki yang sangat tampan, putih, hidung mancung, rambutnya hitam lebat, dan lucu, Fatimah melahirkan dirumah bibinya, maka ia berinisiatif memberi nama anaknya Habibi. Kebahagiaan yang begitu luar biasa bagi Fatimah dan keluarga, anak pertama yang diharapkan selama ini akhirnya bisa melihat dunia bersama.
Melihat Fatimah setelah melahirkan tampak raut mukanya begitu bahagia, tetapi dibalik kebahagiaan itu ada hal yang begitu merilis hati Fatimah.
“Fatimah, bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya bibi saat melihat Fatimah berdiam diri.
“E...bibi, aku hanya ingat dengan almarhum suamiku bi...., aku melahirkan tanpa suami...,” raut Fatimah dengan sedih langsung memeluk bibi.
“Sudah Fatimah...yang berlalu biarlah berlalu...kalau kita terus mengingat akan masa lalu hanya kesedihanlah muncul dalam benak kita..., tetaplah semangat, perjalananmu masih panjang, masih ada anakmu yang menemani hidupmu, jaga dan rawatlah dengan rasa kasih sayang sepenuh hatimu,“ bibi memberikan nasehat kepada Fatimah.
“Terimakasih bi....bibi membuat diriku menjadi kuat dalam menjalani hidup ini, sejak aku hamil hingga melahirkan bibi terus mendukung dan pengertian terhadapku, aku tidak tau lagi jika tidak ada bibi siapa yang mau menemaniku?” sambil keluar air mata kesedihan di pipi Fatimah.
“Sama-sama Fatimah, bibi juga tau dengan keadaanmu...tapi jangan berlarut-larut dalam kesedihan seperti ini Fatimah...usap air matamu....,” sentuhan tangan bibi membantu Fatimah.
****
Satu tahun berjalan, Fatimah selain mengurus Habibi juga bekerja keras berdagang sayur di pasar, berangkat dari pukul 06:00 hingga 11:00 kembali pulang. Demi melangsungkan kehidupan Fatimah harus bekerja keras untuk membesarkan anaknya, dalam berdagang Habibi juga dibawa oleh Fatimah, Habibi digendong dibelakang dan sayurannya diletakkan diatas kepala menggunakan wadah besar. Habibi tidak rewel anaknya, dia menangis ketika merasa lapar saja. Ketika di pasar Habibi menjadi pusat perhatian oleh kebanyakan orang-orang. Fatimah sangat bersyukur dengan anugerah Ilahi.
“Bu......beli sayur bayamnya dua ikat...dipotong ya bu akarnya..,” ujar salah satu pembeli kepada Fatimah.
“Iya....,” jelas Fatimah.
“Subhanallah....anak ibu tampan sekali....lucunya....sini nak, ibu beri sesuatu buat kamu....siapa namanya ini...?” pembeli itu langsung menggendong Habibi dan memberi uang kepada Habibi, “Untuk beli susu ya uangnya....,” kecupan manis pembeli itu kepada Habibi.
“Ini bu...sayurnya...,” Fatimah memberikan sekantong bayam kepada pembeli.
“Berapa bu?” tanya pembeli.
“Udah dibawa saja bu....,” Fatimah merasa tidak enak karena Habibi sudah diberikan uang dalam jumlah yang besar.
“Jangan seperti itu bu....jangan sungkan dengan saya....ni...ambil....ayo...terima bu...rezeki jangan ditolak....,” pembeli itu langsung menyodorkan uang kepada Fatimah.
“Terimakasih bu....aku jadi ngerasa tidak enak dengan ibu...boleh saya menanyakan sesuatu terhadap ibu?” Fatimah bicara serius.
“Iya...boleh-boleh saja..ada apa bu..?” pembeli itu kembali bertanya.
“Kenapa ibu begitu baik sekali terhadap saya dan anak saya?” Fatimah ingin tau.
“Saya sangat senang dengan usaha ibu yang begitu luar biasa, saya menghargai semua itu, tidak mudah berdagang sambil menjaga anak, ibu rela demi kelangsungan hidup ibu dan anak. Saya sendiri belum bisa seperti ibu, anggap saja ini rezeki untuk ibu...rezeki itu melalui perantara saya...begitu ya bu...,” pembeli menjelaskan secara detail.
“Kalau begitu ya...terimakasih banyak bu...kebaikan ibu akan dibalas dengan yang lebih lagi nantinya,” lemparan senyum Fatimah terhadap pembelinya.
“Amin......,” sahut pembeli.
****
Sejak kecil Habibi sudah membantu ibunya berdagang, pekerjaan yang dianggap kebanyakan orang merupakan hal yang rendah, tapi bagi Habibi dan ibunya merupakan pekerjaan yang luar biasa. Kerja dengan semangat dan keikhlasan, tanpa pamrih, dan jujur. Kegiatan yang dilakoni Fatimah sebelum berdagang, setiap hari selalu bangun malam untuk melakukan shalat tahajud, tidak lupa Habibi juga dibiasakan untuk ikut bangun dan melakukan shalat. Ketika dibangunkan, Habibi tidak merasa malas, dia sangat tunduk dengan perintah ibunya, anaknya sungguh berbakti sekali.
“Nak....bangun yok....kita shalat..............,” Fatimah membangunkan Habibi.
“Iya bu.....,” Habibi bergegas mengambil wudhu.
Usai shalat tahajut, Habibi dibiasakan oleh Fatimah untuk megaji dan menghapalkan Al-Qur’an. Habibi menjadi terbiasa dengan hapalan, mudah sekali dan cepat tanggap dengan hapalan Al-Qur’an. Usia 7 tahun Habibi sudah hapal surah sebanyak 5 juz. Luar biasa sekali Habibi, jika ada perlombaan hapalan surah, Habibi selalu ikut dan bisa memenangkan perlombaan.
****
Meranjak dewasa ketampanan seorang Habibi semakin membuat orang menjadi ingin memilikinya, rasa kagum dan bangga atas apa yang ada pada dirinya, perilaku dia, tidak semua orang bisa seperti Habibi. Ditambah dengan Habibi menjadi seorang ustad sekaligus juragan sayur yang terkenal, banyak orang yang iri dengan Habibi.
Pukul 01:00, datang 5 orang yang menyamar menggunakan topeng, mereka ingin membunuh Habibi sekaligus mencuri. Mereka tidak suka melihat keberhasilan dan ketampanan Habibi.
“Besar sekali rumah ini, lewat mana kita masuk?” ujar pencuri 1.
“Kita loncat saja pagar ini...,” pencuri 2 memberi saran.
“Okelah...,” ujar pencuri sekaligus pembunuh itu kompak.
Mereka berhasil masuk melewati pagar yang tinggi, rumah Habibi dan ibunya memang tidak ada satpam dan pembantu, mereka membiasakan untuk hidup mandiri. Jadi didalam rumah hanya ada Habibi dan ibunya saja. Keliling pencuri itu dirumah Habibi, mereka bingung ingin lewat dari mana jika masuk didalam rumah yang begitu besar dan megahnya. Tepat pada salah satu kamar mereka lewati, terlihat sesosok seperti malaikat, semuanya serba putih dan memancarkan cahaya yang begitu kuat dn terangnya. Jika melihat cahaya itu maka mata akan langsung buta. Siapakah dia? Dia adalah Habibi yang baru saja melaksanakan shalat tahajud, pancaran cahaya dari Al-Qur’an yang lagi tengah dibaca oleh Habibi sendiri tembus menyinari kawasan rumahnya.
“Tidak....tidak.....,” teriak pencuri 1.
“Tolong......tolong.......,” teriak pencuri 2.
“Panas.....panas......,” pencuri 3 merasa tidak tahan melihat cahaya.
Mereka lari dengan terbirit-birit dan langsung berusaha untuk pergi dari rumah Habibi dan ibunya. Sampai didepan pintu gerbang, mereka bingung bagaimana mencari solusi untuk keluar dari pagar, sebelum mereka bisa keluar, Habibi berhenti mengaji mendengar teriakan-teriakan para pencuri sekaligus akan membunuh, Habibi keluar dari kamar dan langsung menuju keluar, pancaran muka tampan Habibi tampak bersinar, membuat para pencuri itu menjadi takut dan tunduk dengannya.
“Hei! Siapa kalain?....ada perlu apa kalian disini?” Habibi mencegah mereka.
“Ampun Tuan.....ampun......,” sanggah pencuri 5.
“Ampun? Kenapa kalian memakai topeng? Mau mencuri ya?” tanya Habibi.
“Kedatangan kami disini ingin membunuh dan mencuri harta Tuan Habibi,” celtuk pencuri yang kebiasaannya tidak bisa bohong.
“Usz....kenapa kamu bilang?” tanya kawan sebelahnya.
“Aku tidak sengaja bilang gitu, kamukan tau saya latah tidak bisa bicara bohong...,” ujarnya.
“Oh...jadi kalian ingin membunuhku dan mencuri harta dirumahku dan ibuku, keterlaluan kalian! Saya segera memberitahu kepada polisi, agar kalian menerima ganjarannya,” tegas Habibi.
Tiba polisi dirumah Habibi, tertangkaplah 5 pencuri dan pembunuh tersebut. Setelah kejadian itu, Habibi merasa ada yang aneh kepada dirinya, kenapa tadi tiba-tiba para pencuri itu teriak seperti orang kesakitan dan langsung pergi begitu saja, padahal niatnya awal ingin mencuri dan membunuhnya. Itulah keberasan dan kuasa Allah SWT yang tidak diketahui oleh umatnya, padahal dari perilaku dan perbuatan manusia itu sendiri.
****
Hikmah Di Rumah Sementara
Oleh: Markamah Uswatun Hasanah
Sebut saja namanya Arif, orang Jawara (Jawa Madura) yang merantau dari Madura ke Jawa kemudian menuju ke Kalimantan Barat, tepatnya di Kabupaten Sanggau Kecamatan Meliau. Akibat menjadi anak perantauan, akhirnya Arif tidak banyak menguasai bahasa Madura dan Jawa, sejak lahir Arif hanya dibiasakan menggunakan Bahasa Indonesia saja hingga saat ini. Arif seorang pria yang mempunyai cita-cita ingin membahagiakan kedua orang tuanya dengan cara bekerja untuk melanjutkan kehidupan dan menyekolahkan adik-adinya. Arif mempunyai dua orang adik, satu perempuan dan satu laki-laki. Adik perempuannya bernama Lia dan yang laki-laki bernama Irul. Mereka bersaudara sangat akur sekali, tidak seperti saudara yang lain biasanya banyak perkelahian.
Selesai duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama Arif berbicara dengan kedua orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan di Pontianak.
“Mak…Pak…,saya ini ingin sekali sekolah di Pontianak, di Pontianakkan ada saurada sepupu....jadi ada kawan disana...., gimana Mak, Pak?”, Ujar Arif.
”Kenapa gak sekolah di Sanggau saja…?, khan lebih dekat, jadi nanti kalau Mamak atau Bapak mau nengok Arif lebih mudah…!” seloroh Bapak.
“Gak mau Pak, Mak…….Arif mau sekolah di Pontianak saja bolehkhan…..?
“Kalau memang itu sudah menjadi keputusan Arif, ya sudah…Arif lanjut sekolah di Pontianak, tapi janji Arif jangan sia-siakan kesempatan yang sudah diberikan oleh Mamak dan Bapak untuk sekolah di Pontianak, benar-benar sekolahnya ya…Arif…?, jangan sia-siakan orang tua, jangan kecewakan orang tua…!”, tambah seorang ibu yang begitu menyayangi anaknya.
“Iya Mak, Pak.. Arif akan benar-benar sekolahnya, yang terpenting Arif bisa sekolah sudah Alhamdulillah…, terimakasih banyak ya Mak, Pak…..!”.
Atas persetujuan bersama, akhirnya Arif pergi juga di Pontianak untuk melanjutkan pendidikannya. Arif pergi ke Pontianak menggunakan bus ABM jurusan Pontianak-Meliau, berangkat dari rumah dari pukul 07:00. Perjalanan ini merupakan perjalanan pertama kalinya bagi Arif.
Didalam bus, Arif langsung duduk disamping seorang pria yang tampan.
Dalam perjalan selama 5 jam, Arif merasa gundah dan gelisah.
“Lama sekali rasanya sampai di Pontianak ya….?”, gumam Arif saat duduk berdampingan dengan orang yang sebelumntya tidak dikenalnya.
Dengan rasa penasaran Arif bertanya dengan orang sebelahnya.
”Bang, masih lama ya sampai di Pontianak?”
“Masih dek!”, jawab orang di sebelah Arif.
“Kira-kira berapa jam lagi bang sampai di Pontianak?, sudah terasa panas rasanya pantat duduk dibangku ini bang!, kaya dikasih cabek terus diiris-iris....ha...ha...!”, sambil Arif gurau dengan orang sebelahnya.
“Ada-ada saja adek ini!, kira-kira 2 jam lagilah dek....! sabar ya.....?”, orang disebelah Arif menanggapi gurauan Arif.
“Hah! dua jam lagi?!....sungguh luar biasa perjalanan ini bang....soalnya saya ni baru pertama kalinya ke Pontianak bang, nampaknya jauh sekali ya bang?...”, lanjut Arif berbicara.
“Mungkin karena adek ini baru pertama kalinya ke Pontianak, makanya perjalanannya terasa jauh, saya sendiri dek....ngerasa perjalanannye gak jauh kok..!biasa jak!”, orang yang disebelah Arif menjawab.
“Abang sudah biasa....!, saya?....Oooo...iya, abang siapa namanya bang?, saya Arif”, rasa penasaran Arif.
“Ya.....nanti kalau adek sudah biasa pasti perjalanan sudah gak jauh lagi, percaya deh!, nama saya bang Syamsul, adek dari mana ni? Kok mau ke Pontianak ada perlu apa?”, seorang yang disebelah Arif yang mengaku bernama Syamsul balik bertanya dengan Arif.
“Ouw....bang Syamsul...., saya ini mau ke Pontianak lanjut sekolah bang!, tapi belum tau mau masuk sekolah SMA mana...?, BTW..... abang tau gak sekolah-sekolah yang ada di Pontianak? abang sendiri orang mana?” , tanya Arif.
“Yang pertama, kalau mau masuk sekolah tergantung dengan NIMnya berapa dulu...?, kalau NIMnya tinggi mudah mau masuk sekolah manapun. Kedua, sekolah-sekolah SMA khususnya ada sekolah SMA Negeri 1 sampai 10, belom yang swastanya tu...!, abang orang asli Pontianak dek, abang tinggal di Gajah Mada”, penjelasan dari Syamsul.
“Gitu ya bang.....?, nantilah coba saya minta tolong daftarkan dengan saurada saya yang di Pontianak tu!, abang dari mana kok naik bus juga, kalau memang orang asli Pontianak?, lanjut Arif bertanya kembali.
“Kebetulan abang pingin sekali jalan-jalan ke Meliau be...penasaran dengan cerita cewek abang tu....katanya di Meliau banyak pohon sawet jak!, masak cuma sawet jakkhan?!, maok tau ndak?, ternyata dek, sampai sana kemaren memang banyak pohon sawet jak!he....he...”, ujar Syamsul.
“He...he...begitu besarnya rasa penasaran abang tu...?, saya sudah bosan sampai di Meliau ni bang...makanya pingin juga sekali-kali pergi jauah gitu...!”, Arif sambil meyakinkan banyaknya pohon sawit di Meliau.
“Ow...adek orang Meliau juga teryata ye...?, Meliau dimananya dek?”, tanya Syamsul kembali.
“Di Afdeling IV S. Dekan bang...!, abang sendiri ditempat siapa kemarin di Meliau?”, ungkap Arif.
“Abang tempat calon isteri abang dek..!”, dengan muka serius Syamsul menjawabnya.
“Ou...ou....so sweet......, ternyata e...ternyata sudah ada calon pendamping to...., kalau begitu, ya mudah-mudahan hubungan abang dengan calon isteri abang langgeng ya bang....’tiada dusta diantara kita’, itu kalimat yang bagus bang, jadi kita bisa saling terbuka, agar tidak ada perselisihan, tetap setia dengan dia bang...jangan dipermainkan anak orang bang, dia juga manusia...! he....he”, dengan lagak seperti orang dewasa Arif berbicara.
“Hmmmm....kaya e udah berpengalaman ni??, abang juga akan menjaga dan tetap sayang sama dia Rif, abang sayang.....sekali dengan dia, abang tidak mau jauh dari dia...abang ingin menjadikan dia sebagai istri abang nantinya, do’akan jak ya Rif..?”, Syamsul meyakinkan diri Arif.
“Amin....Arif pasti do’akan kalian bang, tinggal kalian jak yang menjaga agar hubungan kalian tetap berjalan dengan baik”, Arif seperti orang sok tau saja.
Asyik berbincang-bincang, akhirnya sampai juga di Pontianak, bertepatan pada pukul 14:00 bus berhenti dipangkalan.
“Alhamdulillah........! sampai juga di Pontianak...Asyik...!, okelah...!, salam kenal saja dengan bang Syamsul ya, sampai jumpa lagi, mudah-mudahan kita panjang umur...”, ujar Arif merasa kesenangan.
“Iya, makasih semuanya...kalau ketemu jangan sombong, Ati-ati ya Arif...!”, Syamsul mempersilahkan Arif untuk pergi.
Turun di pangkalan bus Tanjung Pura, disana sudah ada saudara Arif bernama Riyan yang menjemputnya. Pulanglah mereka ke rumah tempat tinggal Riyan di Jl. Ahmad Yani.
“Bagus juga rumah dirimu bro...!”, ujar Arif memuja rumah Riyan.
“Ah....biase jak Bro..., kalau udah tinggal di rumah ini, anggap jak rumah sendiri ye...!”, sambil Riyan mempersilahkan Arif masuk.
“Gitu ya bro...., okelah kalau begitu....!”, tanggap Arif.
Didalam rumah, Riyan menunjukkan kamar yang nantinya menjadi tempat istirahat Arif.
“Kamu senang gak Rif dengan kamar ni?”, tanya Riyan.
”Alhamdulillah Arif senang Yan, terimakasih banyak ya Yan...Arif gak tau harus mengucapkan apa terhadap Riyan dan keluarga, mudah-mudahan murah rezeki, panjang umur, sehat selalu, murah tersenyum, tidak suka marah, rajin, tetap aksis, pokoknya semuanya deh!, Arif tidak habis pikir kalau seandainya tidak ada Riyan di Pontianak Arif harus tinggal dimana?, Tanks Bro....!”, Arif dengan bangganya.
”Ye....same-same bro, kitekan saudara...ye...setidaknye saling menolonglah...ape gunanye saudare kalau gak saling menolong satu same laen..!, makaseh gak atas do’enye, semoge Arif serte keluarge sehat selalu, murah rezeki gak..., jangan lupa yang serius sekolahnye nantek ye..!semangat!!!”, ucap Riyan sambil menepuk punggung Arif.
Di kamar yang sangat bagus, tempat tidurnya empuk berwarna merah, dipasang AC tepi dinding, bunga-bunga yang membuat keindahan suasana kamar, lengkap dengan perangkat seperti meja belajar, lemari, kamar mandi, dll. Ada juga sebuah pancuran air yang dibentuk layaknya seperti diding berbatuan berwarna hitam, airnya jernih sekali, ada tanaman bunga anggrek dan tanaman hias lainnya, didalam tempat pertumpahan air pancurannya dibuat kolam kecil diisi dengan Ikan Mas Koki yang sisiknya berwarna orange. Didasar lantainya dibuat berbatuan yang bagus dan bersih, bebatuannya ada yang berbentuk kecil dan besar, berwarna kuning emas, hitam, putih, dan warna lainnya. Tidak takut rasa kotor ketika duduk diatas batu-batu tersebut. Pintu yang ingin masuk ataupun keluar di pancuran terbuat dari kaca, jadi seolah-olah kita memandangnya tidak ada pintu. Tampak begitu saja jika tidak tahu kalau ada pintu disitu. Sungguh luar biasa kamar yang ditata sedemikian rupa.
”Aku sangat senang sekali, aku diberikan fasilitas yang bagus, semua ada didalam rumah ini, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini!”, ujar Arif dengan rasa percaya diri.
Merasa perjalanan jauh dari Meliau ke Pontianak, Arifpun merasa lelah sekali, akhirnya dia langsung beristirahat diatas tempat tidur tanpa membersihkan diri terlebih dulu. Baru saja terlelap, masuklah Riyan sambil membawakan perlengkapan shalat.
”Rif, bangun!, udah shalat Dzuhur lom?”, Riyan membangunkan Arif.
”Astakhfirullah al’azim!, belom Yan!”, langsung Arif bergegas ingin mengambil air wudhu.
Tanpa berpikir panjang, Arif langsung menuju ke tempat air pancur yang tadi dia lihat, tidak tahu kalau air pancur itu hanya sebagai pemandangan, bukan untuk wudhu, maklumlah....kalau di kampung Meliau kebiasaan wudhu dengan air sungai....
Melihat tingkah Arif yang aneh itu, Riyan hanya tertawa geli, tidak mau bilang sesuatu apapun, karena takut mengganggu Arif yang kelihatannya sudah terburu-buru sekali ingin shalat.
Setelah mengambil mengambil air wudhu, Arif mengambil begitu saja perlengkapan shalat yang masih dipegang oleh Riyan dan langsung beranjak ingin shalat sambil menanyakan arah kiblat. Arif sudah tidak memperdulikan apa yang sebenarnya Riyan tertawakan, karena mengejar waktu shalat yang sudah hampir ketinggalan beberapa menit akan memaasuki shalat Ashar.
Usai shalat, Arif langsung menanyakan apa yang ditertawakan oleh Riyan ketika bergegas mengambil air wudhu.
”Apa yang Iyan tertawakan tadi tu bro...!”, dengan rasa penasaran Arif berbicara.
”Ha...ha....,mau tau gak Rif, Ma’Arif tuh ngapelah....wudhu di aek pancuran tu??!”, ungkap Riyan sambil kesal dicampur dengan gurau sedikit.
”Hah..!”, tercengang Arif.
”Iya, aek untok wudhu di WCkan ade aeknye tuch.....!”, penjelasan dari Riyan.
”Iyakah??, masyaAllah......, salahlah tadi tuh..?, Arif sambil menggelengkan kepala.
”Lucu dirimu Rif....Rif....ade-ade jak!”, gumam Riyan.
Esok hari, ketika Arif ingin mendaftar sekolah, dia meminta tolong kepada Riyan untuk menemaninya.
“Yan, boleh minta tolong ndak Yan?...”, Arif sambil merayu Riyan.
“Ade ape Rif...?”, Riyan menanyakan kembali.
“Gini, Arif minta tolong kawankan daftar ke sekolahlah Yan..., gimana?”, ujar Arif dengan muka memelas.
“Gimane ye...., kebetulan Riyan hari ini ade Mata Kuliah ni Bro...tapi sampai jam 09:00 udah keluar kok, atau....gini jak, abis MK Iyan langsung jempot Arif antar daftar!, belum tutupkan jam segitu sekolah-sekolah??”, tanggap Riyan.
“Gak tau juga sih...udah tutup atau belum pendaftaran jam segitu, kayaknya belumlah. OK deh! Nanti abis kuliah jak Iyan antar Arif “.
Tepat pada pukul 09:15, Riyan tiba di rumah dan langsung mengantar Arif daftar sekolah. Awalnya tidak tau tujuan mau masuk sekolah mana, Riyan langsung mengambil keputusan untuk memasukkan Arif ke sekolah SMA 1 Negeri Pontianak, dan ternyata, Alhamdulillah kesempatan Arif masih bisa masuk target NIM yang paling tertinggi diantara pendaftar lainnya.
“Mudah-mudahan jak Arif diterima di SMA 1 Pontianak!, maseh ade kesempatan kok, besok care’ gek informasi, Sip!, yok...kite pulang”, ungkap Riyan sambil merangkul Arif dengan muka ceria dan semangat.
“Amin.........mudah-mudahan diterima ya Yan, Arif berharap diterima, meskipun Arif dari kampung, bisa sekolah di SMA Negeri 1 Pontianak, itu sudah menjadi kebanggaan tersendiri buat Arif, apalagi orang tua yang mendengar berita ini, pasti bangga...!”, ujar Arif sambil berjalan menuju tempat parkir motor bersama Riyan.
Esok hari, Arif sudah tidak sabar lagi ingin melihat informasi penerimaan siswa baru, karena hari itu juga termasuk hari terakhir pengumuman penerimaan siswa/siswi baru. Tanpa ditemani oleh Riyan langsung pergi sendiri. Arif termasuk anak yang cerdas dan pintar. Selama duduk dibangku sekolah dari SD sampai SMP selalu mendapatkan juara umum. Sampai di SMA Negeri 1, alhasil Arif teryata diterima sebagai siswa SMA Negeri 1 Pontianak dengan nilai hasil ujian yang tertinggi.
“Alhamdulillah ya Allah.....Allahhuakbar!!!”, langsung bersujud Arif didepan papan pengumuman.
Orang-orang melihatnya hingga tercengang karena begitu bersyukurnya seorang anak ketika melihat hasil pengumuman. Langsung bergegas pulang Arif di rumah Riyan, ingin menyampaikan kabar gembira.
“Assalammualaikum.Wr.Wb........., Yan...Yan.....!”, Arif sudah tidak sabar bilang dengan Riyan.
“Ngape be Rif, gimane hasil pengumumannye?!”, tanya Riyan.
Dengan rasa bangga, Arifpun langsung memeluk Riyan dengan kuat.
“Arif diterima sekolah SMA Negeri 1 Yan.....!”, ujar Arif.
“Iyeke????....selamatlah lok kalau gitu’!”, Riyan melepaskan pelukannya sambil menjulurkan tangannya.
Masuk di rumah, Arif langsung menelfon kedua orang tuanya untuk meyampaikan kabar gembiranya. Orang tuanyapun senang dengan kabar tersebut.
Mulailah masuk sekolah dengan seragam sekolah yang baru pula, dengan gagahnya Arif berjalan, menunjukkan kepada Riyan.
“Ganteng ndk Arif bro..?!”, tanya Arif.
“Guanteng,,,,,,cakeplah pokoknye, belajar benar-benar tu...!”, ungkap Riyan ketika main laptopnya.
“Berez boz....!, okelah Arif pergi dulu ya...Assalammualaikum....!”, Arif langsung keluar rumah.
Tiba di sekolah, Arif langsung mengikuti agenda Masa Orientasi Sekolah (MOS), pengadaan itu diadakan selama 4 hari.
Hari aktif belajar, mulailah sedikit demi sedikit tugas menumpuk. Bereaksi dengan sungguh-sungguh Arif mengikuti pelajaran, cari ttugas mengunakan fasilitas yang ada dei rumah Riyan, semua tugas dikerjakan dengan semaksimal mungkin. Arif sungguh luar biasa anaknya, selain pintar dan cerdas juga rajin di rumah. Sudah menjadi budaya dalam keluarga Arif di rumah kampungnya selalu membantu orang tua. Tidak terkejut dan janggal lagi jika berada di rumah orang lain. Meskipun belajar sungguh-sungguh, Arif tidak lupa mengerjakan kewajiban lima waktunya, dan selalu mengerjakan rumah, dari masak sampai semua pekerjaan rumah Arif yang menghendelnya. Itulah sesosok Arif yang luar biasa, pantang menyerah dan selalu semangat menjali hidup demi mengagapai cita-cita.
Sebut saja namanya Arif, orang Jawara (Jawa Madura) yang merantau dari Madura ke Jawa kemudian menuju ke Kalimantan Barat, tepatnya di Kabupaten Sanggau Kecamatan Meliau. Akibat menjadi anak perantauan, akhirnya Arif tidak banyak menguasai bahasa Madura dan Jawa, sejak lahir Arif hanya dibiasakan menggunakan Bahasa Indonesia saja hingga saat ini. Arif seorang pria yang mempunyai cita-cita ingin membahagiakan kedua orang tuanya dengan cara bekerja untuk melanjutkan kehidupan dan menyekolahkan adik-adinya. Arif mempunyai dua orang adik, satu perempuan dan satu laki-laki. Adik perempuannya bernama Lia dan yang laki-laki bernama Irul. Mereka bersaudara sangat akur sekali, tidak seperti saudara yang lain biasanya banyak perkelahian.
Selesai duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama Arif berbicara dengan kedua orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan di Pontianak.
“Mak…Pak…,saya ini ingin sekali sekolah di Pontianak, di Pontianakkan ada saurada sepupu....jadi ada kawan disana...., gimana Mak, Pak?”, Ujar Arif.
”Kenapa gak sekolah di Sanggau saja…?, khan lebih dekat, jadi nanti kalau Mamak atau Bapak mau nengok Arif lebih mudah…!” seloroh Bapak.
“Gak mau Pak, Mak…….Arif mau sekolah di Pontianak saja bolehkhan…..?
“Kalau memang itu sudah menjadi keputusan Arif, ya sudah…Arif lanjut sekolah di Pontianak, tapi janji Arif jangan sia-siakan kesempatan yang sudah diberikan oleh Mamak dan Bapak untuk sekolah di Pontianak, benar-benar sekolahnya ya…Arif…?, jangan sia-siakan orang tua, jangan kecewakan orang tua…!”, tambah seorang ibu yang begitu menyayangi anaknya.
“Iya Mak, Pak.. Arif akan benar-benar sekolahnya, yang terpenting Arif bisa sekolah sudah Alhamdulillah…, terimakasih banyak ya Mak, Pak…..!”.
Atas persetujuan bersama, akhirnya Arif pergi juga di Pontianak untuk melanjutkan pendidikannya. Arif pergi ke Pontianak menggunakan bus ABM jurusan Pontianak-Meliau, berangkat dari rumah dari pukul 07:00. Perjalanan ini merupakan perjalanan pertama kalinya bagi Arif.
Didalam bus, Arif langsung duduk disamping seorang pria yang tampan.
Dalam perjalan selama 5 jam, Arif merasa gundah dan gelisah.
“Lama sekali rasanya sampai di Pontianak ya….?”, gumam Arif saat duduk berdampingan dengan orang yang sebelumntya tidak dikenalnya.
Dengan rasa penasaran Arif bertanya dengan orang sebelahnya.
”Bang, masih lama ya sampai di Pontianak?”
“Masih dek!”, jawab orang di sebelah Arif.
“Kira-kira berapa jam lagi bang sampai di Pontianak?, sudah terasa panas rasanya pantat duduk dibangku ini bang!, kaya dikasih cabek terus diiris-iris....ha...ha...!”, sambil Arif gurau dengan orang sebelahnya.
“Ada-ada saja adek ini!, kira-kira 2 jam lagilah dek....! sabar ya.....?”, orang disebelah Arif menanggapi gurauan Arif.
“Hah! dua jam lagi?!....sungguh luar biasa perjalanan ini bang....soalnya saya ni baru pertama kalinya ke Pontianak bang, nampaknya jauh sekali ya bang?...”, lanjut Arif berbicara.
“Mungkin karena adek ini baru pertama kalinya ke Pontianak, makanya perjalanannya terasa jauh, saya sendiri dek....ngerasa perjalanannye gak jauh kok..!biasa jak!”, orang yang disebelah Arif menjawab.
“Abang sudah biasa....!, saya?....Oooo...iya, abang siapa namanya bang?, saya Arif”, rasa penasaran Arif.
“Ya.....nanti kalau adek sudah biasa pasti perjalanan sudah gak jauh lagi, percaya deh!, nama saya bang Syamsul, adek dari mana ni? Kok mau ke Pontianak ada perlu apa?”, seorang yang disebelah Arif yang mengaku bernama Syamsul balik bertanya dengan Arif.
“Ouw....bang Syamsul...., saya ini mau ke Pontianak lanjut sekolah bang!, tapi belum tau mau masuk sekolah SMA mana...?, BTW..... abang tau gak sekolah-sekolah yang ada di Pontianak? abang sendiri orang mana?” , tanya Arif.
“Yang pertama, kalau mau masuk sekolah tergantung dengan NIMnya berapa dulu...?, kalau NIMnya tinggi mudah mau masuk sekolah manapun. Kedua, sekolah-sekolah SMA khususnya ada sekolah SMA Negeri 1 sampai 10, belom yang swastanya tu...!, abang orang asli Pontianak dek, abang tinggal di Gajah Mada”, penjelasan dari Syamsul.
“Gitu ya bang.....?, nantilah coba saya minta tolong daftarkan dengan saurada saya yang di Pontianak tu!, abang dari mana kok naik bus juga, kalau memang orang asli Pontianak?, lanjut Arif bertanya kembali.
“Kebetulan abang pingin sekali jalan-jalan ke Meliau be...penasaran dengan cerita cewek abang tu....katanya di Meliau banyak pohon sawet jak!, masak cuma sawet jakkhan?!, maok tau ndak?, ternyata dek, sampai sana kemaren memang banyak pohon sawet jak!he....he...”, ujar Syamsul.
“He...he...begitu besarnya rasa penasaran abang tu...?, saya sudah bosan sampai di Meliau ni bang...makanya pingin juga sekali-kali pergi jauah gitu...!”, Arif sambil meyakinkan banyaknya pohon sawit di Meliau.
“Ow...adek orang Meliau juga teryata ye...?, Meliau dimananya dek?”, tanya Syamsul kembali.
“Di Afdeling IV S. Dekan bang...!, abang sendiri ditempat siapa kemarin di Meliau?”, ungkap Arif.
“Abang tempat calon isteri abang dek..!”, dengan muka serius Syamsul menjawabnya.
“Ou...ou....so sweet......, ternyata e...ternyata sudah ada calon pendamping to...., kalau begitu, ya mudah-mudahan hubungan abang dengan calon isteri abang langgeng ya bang....’tiada dusta diantara kita’, itu kalimat yang bagus bang, jadi kita bisa saling terbuka, agar tidak ada perselisihan, tetap setia dengan dia bang...jangan dipermainkan anak orang bang, dia juga manusia...! he....he”, dengan lagak seperti orang dewasa Arif berbicara.
“Hmmmm....kaya e udah berpengalaman ni??, abang juga akan menjaga dan tetap sayang sama dia Rif, abang sayang.....sekali dengan dia, abang tidak mau jauh dari dia...abang ingin menjadikan dia sebagai istri abang nantinya, do’akan jak ya Rif..?”, Syamsul meyakinkan diri Arif.
“Amin....Arif pasti do’akan kalian bang, tinggal kalian jak yang menjaga agar hubungan kalian tetap berjalan dengan baik”, Arif seperti orang sok tau saja.
Asyik berbincang-bincang, akhirnya sampai juga di Pontianak, bertepatan pada pukul 14:00 bus berhenti dipangkalan.
“Alhamdulillah........! sampai juga di Pontianak...Asyik...!, okelah...!, salam kenal saja dengan bang Syamsul ya, sampai jumpa lagi, mudah-mudahan kita panjang umur...”, ujar Arif merasa kesenangan.
“Iya, makasih semuanya...kalau ketemu jangan sombong, Ati-ati ya Arif...!”, Syamsul mempersilahkan Arif untuk pergi.
Turun di pangkalan bus Tanjung Pura, disana sudah ada saudara Arif bernama Riyan yang menjemputnya. Pulanglah mereka ke rumah tempat tinggal Riyan di Jl. Ahmad Yani.
“Bagus juga rumah dirimu bro...!”, ujar Arif memuja rumah Riyan.
“Ah....biase jak Bro..., kalau udah tinggal di rumah ini, anggap jak rumah sendiri ye...!”, sambil Riyan mempersilahkan Arif masuk.
“Gitu ya bro...., okelah kalau begitu....!”, tanggap Arif.
Didalam rumah, Riyan menunjukkan kamar yang nantinya menjadi tempat istirahat Arif.
“Kamu senang gak Rif dengan kamar ni?”, tanya Riyan.
”Alhamdulillah Arif senang Yan, terimakasih banyak ya Yan...Arif gak tau harus mengucapkan apa terhadap Riyan dan keluarga, mudah-mudahan murah rezeki, panjang umur, sehat selalu, murah tersenyum, tidak suka marah, rajin, tetap aksis, pokoknya semuanya deh!, Arif tidak habis pikir kalau seandainya tidak ada Riyan di Pontianak Arif harus tinggal dimana?, Tanks Bro....!”, Arif dengan bangganya.
”Ye....same-same bro, kitekan saudara...ye...setidaknye saling menolonglah...ape gunanye saudare kalau gak saling menolong satu same laen..!, makaseh gak atas do’enye, semoge Arif serte keluarge sehat selalu, murah rezeki gak..., jangan lupa yang serius sekolahnye nantek ye..!semangat!!!”, ucap Riyan sambil menepuk punggung Arif.
Di kamar yang sangat bagus, tempat tidurnya empuk berwarna merah, dipasang AC tepi dinding, bunga-bunga yang membuat keindahan suasana kamar, lengkap dengan perangkat seperti meja belajar, lemari, kamar mandi, dll. Ada juga sebuah pancuran air yang dibentuk layaknya seperti diding berbatuan berwarna hitam, airnya jernih sekali, ada tanaman bunga anggrek dan tanaman hias lainnya, didalam tempat pertumpahan air pancurannya dibuat kolam kecil diisi dengan Ikan Mas Koki yang sisiknya berwarna orange. Didasar lantainya dibuat berbatuan yang bagus dan bersih, bebatuannya ada yang berbentuk kecil dan besar, berwarna kuning emas, hitam, putih, dan warna lainnya. Tidak takut rasa kotor ketika duduk diatas batu-batu tersebut. Pintu yang ingin masuk ataupun keluar di pancuran terbuat dari kaca, jadi seolah-olah kita memandangnya tidak ada pintu. Tampak begitu saja jika tidak tahu kalau ada pintu disitu. Sungguh luar biasa kamar yang ditata sedemikian rupa.
”Aku sangat senang sekali, aku diberikan fasilitas yang bagus, semua ada didalam rumah ini, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini!”, ujar Arif dengan rasa percaya diri.
Merasa perjalanan jauh dari Meliau ke Pontianak, Arifpun merasa lelah sekali, akhirnya dia langsung beristirahat diatas tempat tidur tanpa membersihkan diri terlebih dulu. Baru saja terlelap, masuklah Riyan sambil membawakan perlengkapan shalat.
”Rif, bangun!, udah shalat Dzuhur lom?”, Riyan membangunkan Arif.
”Astakhfirullah al’azim!, belom Yan!”, langsung Arif bergegas ingin mengambil air wudhu.
Tanpa berpikir panjang, Arif langsung menuju ke tempat air pancur yang tadi dia lihat, tidak tahu kalau air pancur itu hanya sebagai pemandangan, bukan untuk wudhu, maklumlah....kalau di kampung Meliau kebiasaan wudhu dengan air sungai....
Melihat tingkah Arif yang aneh itu, Riyan hanya tertawa geli, tidak mau bilang sesuatu apapun, karena takut mengganggu Arif yang kelihatannya sudah terburu-buru sekali ingin shalat.
Setelah mengambil mengambil air wudhu, Arif mengambil begitu saja perlengkapan shalat yang masih dipegang oleh Riyan dan langsung beranjak ingin shalat sambil menanyakan arah kiblat. Arif sudah tidak memperdulikan apa yang sebenarnya Riyan tertawakan, karena mengejar waktu shalat yang sudah hampir ketinggalan beberapa menit akan memaasuki shalat Ashar.
Usai shalat, Arif langsung menanyakan apa yang ditertawakan oleh Riyan ketika bergegas mengambil air wudhu.
”Apa yang Iyan tertawakan tadi tu bro...!”, dengan rasa penasaran Arif berbicara.
”Ha...ha....,mau tau gak Rif, Ma’Arif tuh ngapelah....wudhu di aek pancuran tu??!”, ungkap Riyan sambil kesal dicampur dengan gurau sedikit.
”Hah..!”, tercengang Arif.
”Iya, aek untok wudhu di WCkan ade aeknye tuch.....!”, penjelasan dari Riyan.
”Iyakah??, masyaAllah......, salahlah tadi tuh..?, Arif sambil menggelengkan kepala.
”Lucu dirimu Rif....Rif....ade-ade jak!”, gumam Riyan.
Esok hari, ketika Arif ingin mendaftar sekolah, dia meminta tolong kepada Riyan untuk menemaninya.
“Yan, boleh minta tolong ndak Yan?...”, Arif sambil merayu Riyan.
“Ade ape Rif...?”, Riyan menanyakan kembali.
“Gini, Arif minta tolong kawankan daftar ke sekolahlah Yan..., gimana?”, ujar Arif dengan muka memelas.
“Gimane ye...., kebetulan Riyan hari ini ade Mata Kuliah ni Bro...tapi sampai jam 09:00 udah keluar kok, atau....gini jak, abis MK Iyan langsung jempot Arif antar daftar!, belum tutupkan jam segitu sekolah-sekolah??”, tanggap Riyan.
“Gak tau juga sih...udah tutup atau belum pendaftaran jam segitu, kayaknya belumlah. OK deh! Nanti abis kuliah jak Iyan antar Arif “.
Tepat pada pukul 09:15, Riyan tiba di rumah dan langsung mengantar Arif daftar sekolah. Awalnya tidak tau tujuan mau masuk sekolah mana, Riyan langsung mengambil keputusan untuk memasukkan Arif ke sekolah SMA 1 Negeri Pontianak, dan ternyata, Alhamdulillah kesempatan Arif masih bisa masuk target NIM yang paling tertinggi diantara pendaftar lainnya.
“Mudah-mudahan jak Arif diterima di SMA 1 Pontianak!, maseh ade kesempatan kok, besok care’ gek informasi, Sip!, yok...kite pulang”, ungkap Riyan sambil merangkul Arif dengan muka ceria dan semangat.
“Amin.........mudah-mudahan diterima ya Yan, Arif berharap diterima, meskipun Arif dari kampung, bisa sekolah di SMA Negeri 1 Pontianak, itu sudah menjadi kebanggaan tersendiri buat Arif, apalagi orang tua yang mendengar berita ini, pasti bangga...!”, ujar Arif sambil berjalan menuju tempat parkir motor bersama Riyan.
Esok hari, Arif sudah tidak sabar lagi ingin melihat informasi penerimaan siswa baru, karena hari itu juga termasuk hari terakhir pengumuman penerimaan siswa/siswi baru. Tanpa ditemani oleh Riyan langsung pergi sendiri. Arif termasuk anak yang cerdas dan pintar. Selama duduk dibangku sekolah dari SD sampai SMP selalu mendapatkan juara umum. Sampai di SMA Negeri 1, alhasil Arif teryata diterima sebagai siswa SMA Negeri 1 Pontianak dengan nilai hasil ujian yang tertinggi.
“Alhamdulillah ya Allah.....Allahhuakbar!!!”, langsung bersujud Arif didepan papan pengumuman.
Orang-orang melihatnya hingga tercengang karena begitu bersyukurnya seorang anak ketika melihat hasil pengumuman. Langsung bergegas pulang Arif di rumah Riyan, ingin menyampaikan kabar gembira.
“Assalammualaikum.Wr.Wb........., Yan...Yan.....!”, Arif sudah tidak sabar bilang dengan Riyan.
“Ngape be Rif, gimane hasil pengumumannye?!”, tanya Riyan.
Dengan rasa bangga, Arifpun langsung memeluk Riyan dengan kuat.
“Arif diterima sekolah SMA Negeri 1 Yan.....!”, ujar Arif.
“Iyeke????....selamatlah lok kalau gitu’!”, Riyan melepaskan pelukannya sambil menjulurkan tangannya.
Masuk di rumah, Arif langsung menelfon kedua orang tuanya untuk meyampaikan kabar gembiranya. Orang tuanyapun senang dengan kabar tersebut.
Mulailah masuk sekolah dengan seragam sekolah yang baru pula, dengan gagahnya Arif berjalan, menunjukkan kepada Riyan.
“Ganteng ndk Arif bro..?!”, tanya Arif.
“Guanteng,,,,,,cakeplah pokoknye, belajar benar-benar tu...!”, ungkap Riyan ketika main laptopnya.
“Berez boz....!, okelah Arif pergi dulu ya...Assalammualaikum....!”, Arif langsung keluar rumah.
Tiba di sekolah, Arif langsung mengikuti agenda Masa Orientasi Sekolah (MOS), pengadaan itu diadakan selama 4 hari.
Hari aktif belajar, mulailah sedikit demi sedikit tugas menumpuk. Bereaksi dengan sungguh-sungguh Arif mengikuti pelajaran, cari ttugas mengunakan fasilitas yang ada dei rumah Riyan, semua tugas dikerjakan dengan semaksimal mungkin. Arif sungguh luar biasa anaknya, selain pintar dan cerdas juga rajin di rumah. Sudah menjadi budaya dalam keluarga Arif di rumah kampungnya selalu membantu orang tua. Tidak terkejut dan janggal lagi jika berada di rumah orang lain. Meskipun belajar sungguh-sungguh, Arif tidak lupa mengerjakan kewajiban lima waktunya, dan selalu mengerjakan rumah, dari masak sampai semua pekerjaan rumah Arif yang menghendelnya. Itulah sesosok Arif yang luar biasa, pantang menyerah dan selalu semangat menjali hidup demi mengagapai cita-cita.
Dompet Keberuntungan
Sanjani seorang anak yang terlahir dari keluarga yang kurang mampu, hidupnya selalu saja kekurangan, tetapi Alhamdulillah meskipun kekurangan masih saja bisa menghidupi keluarga. Anak satu-satunya yang dibanggakan keluarga, tinggal di daerah Sanggau wilayah pedalaman, Desa Suka Mulya sekitar 100 km dari perkotaan. Rumahnya sederhana, terbuat dari papan dan beratapkan daun rumbia, tidak terlalu besar, memilki dua ruang kamar tidur, ruang tengah dan dapur. Jikalau mandi ada dibuatkan sumur dibelakang rumah, lantainya dari susunan kayu untuk melakukan segala aktivitas mandi, mencuci dll, dan sebagai penutup terbuat dari karung bekas. Memiliki sawah warisan dari neneknya seluas 1 hektare untuk keluarga Sanjani.
Sanjani anaknya sangat rajin dan berbakti kepada kedua orang tuanya, sejak kecil Sanjani membantu orang tuanya mengerjakan sawah yang di belakang rumahnya dan mengerjakan rumah, hingga sekarang menginjak usia 14 tahun. Sanjani putus sekolah sejak dibangku SMP kelas 2, orangtuanya tidak sanggup lagi membiayai. Sanjani ingin sekali melanjutkan sekolah seperti kawan-kawan lainnya, memakai seragam sekolah, pergi ke sekolah bersama-sama, tetapi akibat ekonomi yang kurang memadai, Sanjani hanya bisa berdo’a dan berusaha mencukupi kebutuhan hidup semampunya itu saja sudah bersyukur sekali.
Ayahnya hanya seorang pemulung sampah dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Prinsip Sanjani hanyalah membantu orang tua bekerja, tetap semangat, tidak boleh iri dan dengki, sabar dan yakin pasti bisa, butuh kesabaran yang sangat besar dan kuat demi mewujudkan keberhasilan yang dicita-citakannya yaitu melanjutkan pendidikan, karena dengan pendidikan Sanjani bisa menjadi orang yang lebih sukses. Pendidikan sangat penting bagi Sanjani, itulah keinginan besar yang belum bisa terwujudkan.
Sanjani bangun pukul 02:00, lebih awal dari orang tuanya, Sanjani tidak pernah meninggalkan shalat malam.
“Tok......tok.....tok..., Ayah..Ibu...bangun...shalat...”, Sanjani membangunkan orang tuanya ketika akan melaksanakan shalat malam.
“Iya.....”, ujar Ibu langsung terbangun.
“Ayah.....ayo kita shalat...”, ungkap Ibu.
“Iya....”, Ayah beranjak bangun.
****
Usai shalat malam berjama’ah, Sanjani langsung menyediakan masakan dan membereskan rumah. Memasak apa adanya, karena menyiapkan makanan untuk Ayahnya yang akan bekerja. Ayah mulai pergi bekerja dari pukul 04:40 s/d 09:00.
“Ayah......masakan sudah siap.....”, Sanjani memberitahu ayahnya.
“Iya...terima kasih nak..”, ujar Ayah.
“Ya...sama-sama yah..., mari bu...kita makan..”, Sanjani mengajak makan Ibu.
Tidak lama kemudian terdengar kumandang adzhan shubuh.
“Kalau begitu kita shalat shubuh dulu Ayah..Ibu..”, ajak Sanjani.
Mereka melaksanakan kewajiban lima waktunya. Selesai mengerjakan shalat shubuh dilanjutkan dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an dengan suara yang merdu dari mulut Sanjani bersama Ibu. Bagus sekali suara Sanjani, dia belajar dari Ibu dan Ayahnya, mengaji ia lakukan setiap hari, pada akhirnya bisa menghatamkan Al-Qur’an hingga 5 kali katam. Ayah yang mulai bersiap-siap kerja, mulai dari menyiapkan keranjang dll. Berangkatlah Ayah dengan berjalan kaki.
“Ayah pergi dulu bu....Sanjani....”, Ayah bersalaman dengan istri anaknya dan mengucapkan salam.
****
Beres semua pekerjaan rumah, tinggal mengerjakan pekerjaan selanjutnya yaitu membantu orangtuanya untuk menggarap sawah.
Tampak cuaca terang diselimuti embun pagi, sawah-sawah membentang luas, ada orang-orangan sawah di tengah-tengah sawah, jalannya sedikit sempit bertanah hitam, terdengar bunyi suara burung-burung berkicau di sekeliling jalan, bukit-bukit dan pepohonan menambah indahnya suasana di pagi hari. Sanjani dan ibunya mulai bekerja di sawah dan perkebunan lainnya dari pukul 05:30, biasanya pekerjaan sawah dan kebun dibantu oleh Ayahnya tatkala sehabis pulang kerja. Ayahnya pergi bekerja dari malam hingga pagi hari.
Tengah mengerjakan sawah, tiba-tiba ada sekelompok kawan-kawan Sanjani melintas dijalan pinggir persawahan yang akan pergi ke sekolah, ada Susi, Andi, Damar, Laila, dan Setiawan. Jarak sekolah dari rumah mereka sekitar 2 km, mereka selalu bersama-sama berjalan kaki, berangkat dari pukul 06:00.
“Kawan-kawan...........tunggu saya dung!, cepat benar jalannya.....??”, kata Susi sambil berlari mengejar kawan-kawan lainnya yang sudah jalan lebih dulu.
“Cepat sedikitlah Sus, jalanpun kaya bekicot bah!!”, Andi mengolok Susi.
“Maklumlah.....Susikan terlalu kurus.....jadi kalau jalan harus berhati-hati benar...”, sambung Laila yang secara langsung sebenarnya menyindir Susi, Susi yang aslinya berbadan sangat gemuk tetapi dibilang kurus.
“Ngolok pula Laila ni......, jelas-jelas ndak kurus dibilang kurus, gimana??”, gumam Damar.
“Ayo Sus.....kami tunggu, jangan buru-buru...nanti jatoh!”, jelas Setiawan terhadap Susi.
“We..........., memang sesuai namanya, Setiawan....setialah dia anaknya....”, ujar Andi kembali sambil bertepuk tangan.
“Kita sebagai umat manusia ya...sudah semestinya untuk saling membantu....”, Setiawan mengungkapkan.
“Betol.........!”, ucap Andi, Laila, dan Damar serentak.
Mendengar suara gemuruh mereka, Sanjani berhenti sejenak dalam keadaan berdiri dan menatap mereka dengan seksama, memakai tudung yang lebar sambil memegang cangkul. Seolah-olah seperti orang yang kagum terhadap sesuatu dan melamun secara mendadak.
“Kenapa anakku kok melamun??”, dalam hati Ibu Sanjani dengan memandang aneh, bingung anaknya melihat apa.
Tidak tega melihat anaknya lama sekali melamun, Ibu Sanjani mendekati Sanjani. Disentuhlah pinggang Sanjani.
“E.....e...kutu kupret....!!”, latah Sanjani sambil meloncat dengan gerakan seorang bersilat.
“Kenapa nak...?, kok melamun saja dari tadi ibu perhatikan...?”, seorang ibu dengan rasa kasih sayang memeluk anaknya.
“Sanjani melihat anak-anak yang lewat ingin pergi ke sekolah bu....., Sanjani membayangkan kalau yang sekolah itu Sanjani juga....”, jelas Sanjani dengan muka sedih.
“Maafkan ibu dan ayahmu ya nak...., kami tidak bisa menyekolahkan Sanjani lagi, untuk makan sehari-hari saja kita masih kekurangan...., untuk sementara ini kita usaha dulu sekarang, kita kumpulkan biaya, kalau sudah ada nanti biaya itu untuk Sanjani sekolah..., jangan sedih ya nak...., pasti ada jalan kalau ada kemauan yang besar....”, ibu yang berusaha menenangkan pikiran anaknya.
“Iya bu...Sanjani akan besabar dan tetap semangat, Sanjani akan berusaha semampu Sanjani, kalau memang Sanjani bisa sekolah lagi Alhamdulillah, tetapi kalau memang tidak Sanjani ikhlas bu...., terimakasih ya bu....kita hidup bersama-sama saja Sanjani sudah bahagia...”, Sanjani tetap tersenyum terhadap ibunya walaupun itu menyakitkan.
“Sanjani memang anak yang baik nak....,Sanjani anak satu-satunya yang ibu dan ayah banggakan”, ibu memberikan semangat Sanjani.
“Terimakasih bu...”, Sanjani dengan ketabahannya.
****
Sanjani dan Ibunya istirahat pulang ke rumah. Ada Ayah tengah beristirahat duduk didepan rumah sambil meminum secangkir kopi.
“Ayah udah pulang??”, tanya Ibu sambil tersenyum.
“Udah bu, Ayah mau ke kebun tapi letihnya belum sembuh ni....!”, ungkap Ayah sedikit gurauan.
“Ayah istirahat saja dulu....jangan juga dipaksakan untuk kerja kalau masih letih, nanti sakit...!”, Ibu memandang Ayah dengan seksama.
“Ini bu airnya diminum dulu....”, Sanjani menyodorkan ceret yang berisikan air teh hangat dan gelas.
“Terimakasih ya nak...”, Ibu ungkapkan.
“Sama-sama bu......., Sanjani kebelakang dulu bu.....”, ujar Sanjani.
****
Di depan rumah, Ayah dan Ibu Sanjani duduk berdampingan diatas kursi bambu. Depan rumah yang rindang, ada pohon mangga, jambu, pepaya, belimbing, rambutan, dan tanaman bunga-bunga yang indah, membuat suasana rumah menjadi sejuk, indah, nyaman, terasa hidup lebih damai dan sentausa. Menikmati keindahan dan suasana di rumah, Ayah dan Ibu Sanjani membicarakan buah hatinya yang sangat disayanginya, cantik rupawan, kulit putih, rambutnya terurai panjang, mata lentik hidung mancung, baik, rajin, dan pantang menyerah.
“Yah....tadi anak kita tiba-tiba merenungi nasibnya...”, ujar Ibu dengan serius.
“Merenungi apa bu..?”, tanggap Ayah.
“Gini lo yah...., tadi lagi tengah bekerja, tiba-tiba Sanjani berhenti dan melamun, Ibu sentuh pinggangnya malah mau ngajak Ibu silat!”, Ibu sambil tertawa. Ibu perhatikan ternyata melihat anak-anak sekolah yang lagi berangkat sekolah, Ibu tanya Sanjani, kenapa nak?, dia hanya bilang ingin bersekolah seperti kawan-kawan lainnya yah....”, jelas ibu.
“Maafkan Ayah bu...., Ayah sudah berusaha untuk menafkahi keluarga..tapi Ayah belum bisa menyekolahkan anak kita lagi...., Ayah akan tetap berusaha keras agar anak kita bisa sekolah seperti kawan-kawannya yang lain”, tegas Ayah.
“Iya....kita sama-sama bekerja, demi kebahagiaan anak kita yah.....”, Ibu memberikan saran kepada Ayah.
****
Didalam kamar, Sanjani mengambil baju seragam sekolahnya yang sudah lama tersimpan didalam lemari. Ia mencium dan memeluk baju itu penuh dengan rasa sedih, air mata mengalir membasahi baju seragamnya.
“Ya Allah....Sanjani ingin sekolah lagi ya Allah....., tunjukan jalan kepada hambamu ini agar bisa sekolah lagi ya Allah...”, do’a Sanjani penuh perasaan terpukul.
Ibu masuk ke dalam rumah ingin menaruh ceret dan gelas di dapur, terdengarlah suara tangisan Sanjani dari arah kamar.
“Seperti ada suara tangisan?”, ujar ibu mendekati kamar Sanjani.
Belum sempat pergi ke dapur, Ibu langsung memberi tahu Ayah agar tahu kalau Sanjani menangis.
“Ayah..mari ikut Ibu!”, Ibu bergegas mengajak Ayah.
“Ada apa bu?”, Ayah penasaran.
Mereka masuk ke dalam rumah dan mendengarkan tangisan Sanjani dengan mendekatkan telinga di pintu kamar.
“Kenapa anak kita menangis bu?, ayo kita lihat bu..”, ajak Ayah terhadap ibu.
“Ayo yah...”, semangat Ibu ingin masuk.
Dibuka pintu oleh Ayah, terlihat Sanjani menangis dekat jendela sambil berdiri. Mendekatlah mereka kearah Sanjani.
“Jangan sedih nak.....nanti Sanjani pasti bisa sekolah lagi”, Ibu memeluk Sanjani.
“Ibu.......”, Sanjani melepaskan rasa sedih kepada Ibunya.
Melihat Sanjani dan Ibu berpelukan, Ayah juga ikut merangkul mereka berdua.
“Ya sudah.....Sanjani tetap semangat ya nak.....pasti Sanjani bisa sekolah lagi, Ayah janji akan berusaha semampu Ayah”, Ayah mendukung Sanjani.
“Terimakasih Ayah...Ibu....”, tampak Sanjani sudah tidak sedih lagi.
****
Esok hari, dengan mengucapkan ‘ بسم الله الر حمن الر حيم’ Ayah pergi bekerja, tidak lupa untuk berjabat tangan dengan istri dan anak. Membawa keranjang yang ditaruh belakang punggung dan alat besi panjang untuk mengais sampah, memakai topi dan kaos tangan. Tengah perjalanan, Ayah menemukan sebuah dompet berwarna coklat tua.
“Dompet siapa ini?, kok bisa disini?”, Ayah terheran.
Dibuka isi dompet ternyata dompet berisikan uang sejumlah 5 juta, ATM Mandiri, KTP yang berinisial dengan nama Johan Prasetyo, 40 tahun, beralamatkan Jl. Perdana blok M no. A4 dan masih ada kartu-kartu lainnya.
“SubhanaAllah....dimana pemilik dompet ini?, aku harus mengembalikan dompet ini, pasti sangat berharga sekali bagi pemiliknya”, Ayah bergegas mencari alamat yang tertera di KTP.
Karena tidak tau harus menuju ke arah mana, Ayah terus berjalan sampai berjam-jam. Rasa letih, panas, keringat bercucuran, muka memerah, semua dirasakan oleh Ayah. Tapi tidak membuat Ayah berputus asa. Ayah terus berjalan, kanan-kiri Ayah memperhatikan mencari alamat, sambil bertanya-tanya kepada orang sekitar banyak tidak tau. Detik terakhir orang yang ke-10 Ayah bertanya.
“Permisi...bang, saya ingin bertanya, tau alamat ini bang?”, Ayah menyodorkan alamat yang di KTP.
“Jl. Perdana blok M no A4, ow.....Bapak jalan saja terus kedepan....nanti ada simpang tiga Bapak belok kiri, bujur.....sampai Bapak temukan Jl. Perdana sebelah kanan, kalau sudah ketemu tinggal Bapak cari no rumahnya....”, jelas seorang pria yang tengah makan mie ayam.
“Baik, terimakasih ya nak......”, ungkap Ayah beranjak pergi.
“Sama-sama pak, hati-hati pak...!.”, pria itu memberi semangat Ayah sambil melanjutkan makannya.
****
Berjalan lagi Ayah sampai menemukan jalan yang ditunjukan oleh seorang pria tadi, dengan rasa sabar dan semangat akhirnya sampai dialamat Jl. Perdana.
“Alhamdulillah....ini dia Jl. Perdana....tinggal cari rumahnya..!”, Ayah dengan semngat luar biasa.
Tinggal satu langkah lagi Ayah mencari rumah, ada seekor anjing dari arah belakang, anjing itu mengejar Ayah tengah asyik melihat rumah-rumah yang berjejer bagus, besar dan mewah.
“Guk.....guk.....guk......!”, anjing itu mengejar ke arah Ayah.
Ayah langsung berlari terbirit-birit dan hampir terjatuh. Laju Ayah berlari, Ayah bersembunyi di tepi dinding pagar agar tidak dikejar anjing itu, Ayah mengintip keluar dan anjing itupun tidak ada lagi. Dari atas dinding ternyata ada tulisan ‘Blok M A4’.
“Alhamdulillah.......anjing itu membawa berkah, akhirnya aku ketemu dengan alamat yang di KTP ini!, terimakasih ya Allah...”, Ayah dengan mengelus dada.
Dibunyikan kalkson yang ada diluar pagar pintu gerbang, keluarlah seorang pembantu dengan membawa kain lap di atas pundak. Melihat Ayah membawa keranjang, tampak sekali seorang pemulung, akhirnya pembantu itu mengambil sampah yang ada dibelakang dan diberikan kepada Ayah.
“Ini pak!”, pembantu itu memberikan sampah kepada Ayah.
“Maaf bu, saya tidak meminta sampah...kedatangan saya disini hanya mengembalikan dompet ini”, ayah sambil memberikan dompet itu terhadap pembantu tersebut.
Dilihatnya isi dompet oleh pembantu itu.
“Benar ini alamat dan pemilik rumah ini, Bapak dapat dimana dompet ini?”, tanya pembantu dengan penasaran.
“Tadi saat saya ingin mencari sampah, saya berjalan dan melihat dompet ini”, Ayah memberitahu kepada pembantu.
“Baiklah, tunggu sebentar, saya berikan dulu dompet ini dengan Bapak Johan Prasetyo”, pembantu itu meninggalkan Ayah diluar pagar.
Ayah menunggu didepan rumah sambil duduk beristirahat, melepaskan rasa lelah seharian mencari alamat. Didalam rumah, pembantu itu langsung memberikan dompet kepada Bapak Johan Prasetyo.
“Pak...ini ada seorang pemulung yang telah menemukan dompet bapak, dia masih menuggu didepan rumah”, ujar pembantu itu terhadap Bapak Prasetyo.
“Iya betul ini dompet saya, saya tidak tau kalau dompet saya hilang....siapa orang yang menemukan dompet saya?, saya ingin bertemu dengannya...tolong suruh bertemu dengan saya...”, Bapak Prasetyo menyuruh pembantunya.
“Baik pak..”, pembantu itu pergi memanggil Ayah Sanjani.
“Pak....mari ikut saya bertemu dengan Bapak Johan Prasetyo..”, ajak pembantu kepada Ayah Sanjani.
“Saya??”, ayah terheran...
“Iya bapak....mari pak masuk...”, pembantu meyakinkan Ayah.
“Ba...ba...baik..!”, Sedikit gembira karena baru pertama kalinya masuk dan berjumpa dengan orang kaya.
Berjumpalah antara Bapak Johan Prasetyo dan Ayah Sanjani diruang tengah.
“Dengan bapak siapa ini?, ungkap Bapak Johan Praseyto sambil mengulurkan tangan.
“Jaka pak..!”, ungkap Ayah.
“Benar Pak Jaka yang menemukan dompet saya?”, tanya Bapak Johan.
“Iya pak, saya menemukan dompet bapak ditepi jalan ketika saya ingin mencari sampah, langsung saya lihat dan saya antarkan ke alamat rumah sini”, jelas Ayah.
“Luar biasa Bapak Jaka, pekerja keras, semangat, dan jujur...saya salut dengan bapak, jarang ada orang seperti bapak. Bapak tinggal dimana?, bagaimana keadaan keluarga bapak?, siapa tau saya bisa membantu..”, tangkas Bapak Johan.
“Saya tinggal di pelosok Desa Suka Mulya Pak Johan...”, Ayah mengalihkan pandangan dan teringat oleh Sanjani yang benar-benar ingin sekolah.
“Pak...pak Jaka......”, Bapak Johan sambil menyadarkan lamunan Ayah Sanjani dengan tangan.
“Maaf pak...saya ingat dengan anak saya..”, Ayah sadar dari lamunannya.
“Ada apa dengan anak bapak?”, tanya Bapak Johan.
“Putri satu-satunya kami ingin sekali melanjutkan sekolah, dia putus sekolah dibangku SPM kelas 2, tetapi saya belum bisa menyekolahkannya lagi, kami tidak ada biaya”, ujar Ayah Sanjani.
“Kebetulan rumah ini sepi, semenjak menikah saya belum mempunyai anak...boleh juga saya mengangkat anak dari Pak Jaka ini, saya juga ingin menjadikan keluarga Pak Jaka bagian dari keluarga besar saya..., saya ingin membahagiakan orang lain”, dalam hati Bapak Johan berkata.
“Jadi begini Pak Jaka.....saya ingin keluarga Pak Jaka tinggal di rumah saya, saya juga akan menyekolahkan anak bapak, biar semua biaya saya yang menanggung, nanti pak Jaka dan istri bisa meneruskan usaha saya, saya ada membangun pabrik makanan ringan seperti indomie dan snack, nanti Bapak Jaka dan istri yang mengawasi kerja karyawan saya, saya sudah jarang mengawasi mereka, karena sibuk juga di kantor, bagaimana Pak Jaka?”, jelas Bapak Johan.
“Bapak serius?????”, Ayah Sanjani terlena dan bahagia.
“Iya...saya serius....bapak mau?”, tanya Pak Johan.
“Mau pak....terimakasih pak....saya akan memberikan informasi ini kepada keluarga saya”, langsung berjabat tangan kemudian bersujud syukur setelah Ayah Sanjani mendengar berita gembira itu.
****
Pulanglah Ayah Sanjani diantar oleh supir pribadi Bapak Johan ke rumah.
“Assalammualaikum.....!, bu......Sanjani...........”, Ayah berlari masuk di rumah.
“Ada apa yah...?, kok sampai lari begitu?”, Ibu menemui Ayah.
“Panjang ceritanya.....ayo kita pindah....”, Ayah langsung mengemaskan barang-barang.
“Apa maksud Ayah...?, Ibu tidak tahu....jelaskan dulu Ayah..”, Ibu penasaran dengan tingkah Ayah.
Muncul Sanjani dari kamar.
“Ada apa Ibu..Ayah..?, kenapa ribut-ribut..?”, Sanjani terbangun dari tidur.
“Baik, dengarkan Ayah...tadi Ayah dapat dompet di jalan saat pergi kerja, ayah kembalikan di alamat KTP yang ada di dompet, sampai di alamat itu ternyata orang yang punya dompet mengajak kita untuk tinggal di rumahnya, dan kamu Sanjani...kamu akan di sekolahkan,
“Benar Ayah...???”, Sanjani merasa bahagia.
“Iya...makanya ayo kita kemaskan barang-barang dan masukkan di mobil, itu supir Pak Johan pemilik rumah sudah menunggu”, Ayah menjelaskan.
“Alhamdulillah...ya Allah.......ayo nak kita kemaskan barang-barang”, Ibu mengajak Sanjani.
Hari itu juga keluarga Sanjani pindah ke rumah Bapak Johan Prasetyo, menjadilah keluarga besar J2 (Johan Jaka). Hidup bagia dan sentausa, Sanjani bisa mewujudkan impian besarnya untuk sekolah. Tidak merasa kesusahan mencari kebutuhan hidup.
The End
Sanjani anaknya sangat rajin dan berbakti kepada kedua orang tuanya, sejak kecil Sanjani membantu orang tuanya mengerjakan sawah yang di belakang rumahnya dan mengerjakan rumah, hingga sekarang menginjak usia 14 tahun. Sanjani putus sekolah sejak dibangku SMP kelas 2, orangtuanya tidak sanggup lagi membiayai. Sanjani ingin sekali melanjutkan sekolah seperti kawan-kawan lainnya, memakai seragam sekolah, pergi ke sekolah bersama-sama, tetapi akibat ekonomi yang kurang memadai, Sanjani hanya bisa berdo’a dan berusaha mencukupi kebutuhan hidup semampunya itu saja sudah bersyukur sekali.
Ayahnya hanya seorang pemulung sampah dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Prinsip Sanjani hanyalah membantu orang tua bekerja, tetap semangat, tidak boleh iri dan dengki, sabar dan yakin pasti bisa, butuh kesabaran yang sangat besar dan kuat demi mewujudkan keberhasilan yang dicita-citakannya yaitu melanjutkan pendidikan, karena dengan pendidikan Sanjani bisa menjadi orang yang lebih sukses. Pendidikan sangat penting bagi Sanjani, itulah keinginan besar yang belum bisa terwujudkan.
Sanjani bangun pukul 02:00, lebih awal dari orang tuanya, Sanjani tidak pernah meninggalkan shalat malam.
“Tok......tok.....tok..., Ayah..Ibu...bangun...shalat...”, Sanjani membangunkan orang tuanya ketika akan melaksanakan shalat malam.
“Iya.....”, ujar Ibu langsung terbangun.
“Ayah.....ayo kita shalat...”, ungkap Ibu.
“Iya....”, Ayah beranjak bangun.
****
Usai shalat malam berjama’ah, Sanjani langsung menyediakan masakan dan membereskan rumah. Memasak apa adanya, karena menyiapkan makanan untuk Ayahnya yang akan bekerja. Ayah mulai pergi bekerja dari pukul 04:40 s/d 09:00.
“Ayah......masakan sudah siap.....”, Sanjani memberitahu ayahnya.
“Iya...terima kasih nak..”, ujar Ayah.
“Ya...sama-sama yah..., mari bu...kita makan..”, Sanjani mengajak makan Ibu.
Tidak lama kemudian terdengar kumandang adzhan shubuh.
“Kalau begitu kita shalat shubuh dulu Ayah..Ibu..”, ajak Sanjani.
Mereka melaksanakan kewajiban lima waktunya. Selesai mengerjakan shalat shubuh dilanjutkan dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an dengan suara yang merdu dari mulut Sanjani bersama Ibu. Bagus sekali suara Sanjani, dia belajar dari Ibu dan Ayahnya, mengaji ia lakukan setiap hari, pada akhirnya bisa menghatamkan Al-Qur’an hingga 5 kali katam. Ayah yang mulai bersiap-siap kerja, mulai dari menyiapkan keranjang dll. Berangkatlah Ayah dengan berjalan kaki.
“Ayah pergi dulu bu....Sanjani....”, Ayah bersalaman dengan istri anaknya dan mengucapkan salam.
****
Beres semua pekerjaan rumah, tinggal mengerjakan pekerjaan selanjutnya yaitu membantu orangtuanya untuk menggarap sawah.
Tampak cuaca terang diselimuti embun pagi, sawah-sawah membentang luas, ada orang-orangan sawah di tengah-tengah sawah, jalannya sedikit sempit bertanah hitam, terdengar bunyi suara burung-burung berkicau di sekeliling jalan, bukit-bukit dan pepohonan menambah indahnya suasana di pagi hari. Sanjani dan ibunya mulai bekerja di sawah dan perkebunan lainnya dari pukul 05:30, biasanya pekerjaan sawah dan kebun dibantu oleh Ayahnya tatkala sehabis pulang kerja. Ayahnya pergi bekerja dari malam hingga pagi hari.
Tengah mengerjakan sawah, tiba-tiba ada sekelompok kawan-kawan Sanjani melintas dijalan pinggir persawahan yang akan pergi ke sekolah, ada Susi, Andi, Damar, Laila, dan Setiawan. Jarak sekolah dari rumah mereka sekitar 2 km, mereka selalu bersama-sama berjalan kaki, berangkat dari pukul 06:00.
“Kawan-kawan...........tunggu saya dung!, cepat benar jalannya.....??”, kata Susi sambil berlari mengejar kawan-kawan lainnya yang sudah jalan lebih dulu.
“Cepat sedikitlah Sus, jalanpun kaya bekicot bah!!”, Andi mengolok Susi.
“Maklumlah.....Susikan terlalu kurus.....jadi kalau jalan harus berhati-hati benar...”, sambung Laila yang secara langsung sebenarnya menyindir Susi, Susi yang aslinya berbadan sangat gemuk tetapi dibilang kurus.
“Ngolok pula Laila ni......, jelas-jelas ndak kurus dibilang kurus, gimana??”, gumam Damar.
“Ayo Sus.....kami tunggu, jangan buru-buru...nanti jatoh!”, jelas Setiawan terhadap Susi.
“We..........., memang sesuai namanya, Setiawan....setialah dia anaknya....”, ujar Andi kembali sambil bertepuk tangan.
“Kita sebagai umat manusia ya...sudah semestinya untuk saling membantu....”, Setiawan mengungkapkan.
“Betol.........!”, ucap Andi, Laila, dan Damar serentak.
Mendengar suara gemuruh mereka, Sanjani berhenti sejenak dalam keadaan berdiri dan menatap mereka dengan seksama, memakai tudung yang lebar sambil memegang cangkul. Seolah-olah seperti orang yang kagum terhadap sesuatu dan melamun secara mendadak.
“Kenapa anakku kok melamun??”, dalam hati Ibu Sanjani dengan memandang aneh, bingung anaknya melihat apa.
Tidak tega melihat anaknya lama sekali melamun, Ibu Sanjani mendekati Sanjani. Disentuhlah pinggang Sanjani.
“E.....e...kutu kupret....!!”, latah Sanjani sambil meloncat dengan gerakan seorang bersilat.
“Kenapa nak...?, kok melamun saja dari tadi ibu perhatikan...?”, seorang ibu dengan rasa kasih sayang memeluk anaknya.
“Sanjani melihat anak-anak yang lewat ingin pergi ke sekolah bu....., Sanjani membayangkan kalau yang sekolah itu Sanjani juga....”, jelas Sanjani dengan muka sedih.
“Maafkan ibu dan ayahmu ya nak...., kami tidak bisa menyekolahkan Sanjani lagi, untuk makan sehari-hari saja kita masih kekurangan...., untuk sementara ini kita usaha dulu sekarang, kita kumpulkan biaya, kalau sudah ada nanti biaya itu untuk Sanjani sekolah..., jangan sedih ya nak...., pasti ada jalan kalau ada kemauan yang besar....”, ibu yang berusaha menenangkan pikiran anaknya.
“Iya bu...Sanjani akan besabar dan tetap semangat, Sanjani akan berusaha semampu Sanjani, kalau memang Sanjani bisa sekolah lagi Alhamdulillah, tetapi kalau memang tidak Sanjani ikhlas bu...., terimakasih ya bu....kita hidup bersama-sama saja Sanjani sudah bahagia...”, Sanjani tetap tersenyum terhadap ibunya walaupun itu menyakitkan.
“Sanjani memang anak yang baik nak....,Sanjani anak satu-satunya yang ibu dan ayah banggakan”, ibu memberikan semangat Sanjani.
“Terimakasih bu...”, Sanjani dengan ketabahannya.
****
Sanjani dan Ibunya istirahat pulang ke rumah. Ada Ayah tengah beristirahat duduk didepan rumah sambil meminum secangkir kopi.
“Ayah udah pulang??”, tanya Ibu sambil tersenyum.
“Udah bu, Ayah mau ke kebun tapi letihnya belum sembuh ni....!”, ungkap Ayah sedikit gurauan.
“Ayah istirahat saja dulu....jangan juga dipaksakan untuk kerja kalau masih letih, nanti sakit...!”, Ibu memandang Ayah dengan seksama.
“Ini bu airnya diminum dulu....”, Sanjani menyodorkan ceret yang berisikan air teh hangat dan gelas.
“Terimakasih ya nak...”, Ibu ungkapkan.
“Sama-sama bu......., Sanjani kebelakang dulu bu.....”, ujar Sanjani.
****
Di depan rumah, Ayah dan Ibu Sanjani duduk berdampingan diatas kursi bambu. Depan rumah yang rindang, ada pohon mangga, jambu, pepaya, belimbing, rambutan, dan tanaman bunga-bunga yang indah, membuat suasana rumah menjadi sejuk, indah, nyaman, terasa hidup lebih damai dan sentausa. Menikmati keindahan dan suasana di rumah, Ayah dan Ibu Sanjani membicarakan buah hatinya yang sangat disayanginya, cantik rupawan, kulit putih, rambutnya terurai panjang, mata lentik hidung mancung, baik, rajin, dan pantang menyerah.
“Yah....tadi anak kita tiba-tiba merenungi nasibnya...”, ujar Ibu dengan serius.
“Merenungi apa bu..?”, tanggap Ayah.
“Gini lo yah...., tadi lagi tengah bekerja, tiba-tiba Sanjani berhenti dan melamun, Ibu sentuh pinggangnya malah mau ngajak Ibu silat!”, Ibu sambil tertawa. Ibu perhatikan ternyata melihat anak-anak sekolah yang lagi berangkat sekolah, Ibu tanya Sanjani, kenapa nak?, dia hanya bilang ingin bersekolah seperti kawan-kawan lainnya yah....”, jelas ibu.
“Maafkan Ayah bu...., Ayah sudah berusaha untuk menafkahi keluarga..tapi Ayah belum bisa menyekolahkan anak kita lagi...., Ayah akan tetap berusaha keras agar anak kita bisa sekolah seperti kawan-kawannya yang lain”, tegas Ayah.
“Iya....kita sama-sama bekerja, demi kebahagiaan anak kita yah.....”, Ibu memberikan saran kepada Ayah.
****
Didalam kamar, Sanjani mengambil baju seragam sekolahnya yang sudah lama tersimpan didalam lemari. Ia mencium dan memeluk baju itu penuh dengan rasa sedih, air mata mengalir membasahi baju seragamnya.
“Ya Allah....Sanjani ingin sekolah lagi ya Allah....., tunjukan jalan kepada hambamu ini agar bisa sekolah lagi ya Allah...”, do’a Sanjani penuh perasaan terpukul.
Ibu masuk ke dalam rumah ingin menaruh ceret dan gelas di dapur, terdengarlah suara tangisan Sanjani dari arah kamar.
“Seperti ada suara tangisan?”, ujar ibu mendekati kamar Sanjani.
Belum sempat pergi ke dapur, Ibu langsung memberi tahu Ayah agar tahu kalau Sanjani menangis.
“Ayah..mari ikut Ibu!”, Ibu bergegas mengajak Ayah.
“Ada apa bu?”, Ayah penasaran.
Mereka masuk ke dalam rumah dan mendengarkan tangisan Sanjani dengan mendekatkan telinga di pintu kamar.
“Kenapa anak kita menangis bu?, ayo kita lihat bu..”, ajak Ayah terhadap ibu.
“Ayo yah...”, semangat Ibu ingin masuk.
Dibuka pintu oleh Ayah, terlihat Sanjani menangis dekat jendela sambil berdiri. Mendekatlah mereka kearah Sanjani.
“Jangan sedih nak.....nanti Sanjani pasti bisa sekolah lagi”, Ibu memeluk Sanjani.
“Ibu.......”, Sanjani melepaskan rasa sedih kepada Ibunya.
Melihat Sanjani dan Ibu berpelukan, Ayah juga ikut merangkul mereka berdua.
“Ya sudah.....Sanjani tetap semangat ya nak.....pasti Sanjani bisa sekolah lagi, Ayah janji akan berusaha semampu Ayah”, Ayah mendukung Sanjani.
“Terimakasih Ayah...Ibu....”, tampak Sanjani sudah tidak sedih lagi.
****
Esok hari, dengan mengucapkan ‘ بسم الله الر حمن الر حيم’ Ayah pergi bekerja, tidak lupa untuk berjabat tangan dengan istri dan anak. Membawa keranjang yang ditaruh belakang punggung dan alat besi panjang untuk mengais sampah, memakai topi dan kaos tangan. Tengah perjalanan, Ayah menemukan sebuah dompet berwarna coklat tua.
“Dompet siapa ini?, kok bisa disini?”, Ayah terheran.
Dibuka isi dompet ternyata dompet berisikan uang sejumlah 5 juta, ATM Mandiri, KTP yang berinisial dengan nama Johan Prasetyo, 40 tahun, beralamatkan Jl. Perdana blok M no. A4 dan masih ada kartu-kartu lainnya.
“SubhanaAllah....dimana pemilik dompet ini?, aku harus mengembalikan dompet ini, pasti sangat berharga sekali bagi pemiliknya”, Ayah bergegas mencari alamat yang tertera di KTP.
Karena tidak tau harus menuju ke arah mana, Ayah terus berjalan sampai berjam-jam. Rasa letih, panas, keringat bercucuran, muka memerah, semua dirasakan oleh Ayah. Tapi tidak membuat Ayah berputus asa. Ayah terus berjalan, kanan-kiri Ayah memperhatikan mencari alamat, sambil bertanya-tanya kepada orang sekitar banyak tidak tau. Detik terakhir orang yang ke-10 Ayah bertanya.
“Permisi...bang, saya ingin bertanya, tau alamat ini bang?”, Ayah menyodorkan alamat yang di KTP.
“Jl. Perdana blok M no A4, ow.....Bapak jalan saja terus kedepan....nanti ada simpang tiga Bapak belok kiri, bujur.....sampai Bapak temukan Jl. Perdana sebelah kanan, kalau sudah ketemu tinggal Bapak cari no rumahnya....”, jelas seorang pria yang tengah makan mie ayam.
“Baik, terimakasih ya nak......”, ungkap Ayah beranjak pergi.
“Sama-sama pak, hati-hati pak...!.”, pria itu memberi semangat Ayah sambil melanjutkan makannya.
****
Berjalan lagi Ayah sampai menemukan jalan yang ditunjukan oleh seorang pria tadi, dengan rasa sabar dan semangat akhirnya sampai dialamat Jl. Perdana.
“Alhamdulillah....ini dia Jl. Perdana....tinggal cari rumahnya..!”, Ayah dengan semngat luar biasa.
Tinggal satu langkah lagi Ayah mencari rumah, ada seekor anjing dari arah belakang, anjing itu mengejar Ayah tengah asyik melihat rumah-rumah yang berjejer bagus, besar dan mewah.
“Guk.....guk.....guk......!”, anjing itu mengejar ke arah Ayah.
Ayah langsung berlari terbirit-birit dan hampir terjatuh. Laju Ayah berlari, Ayah bersembunyi di tepi dinding pagar agar tidak dikejar anjing itu, Ayah mengintip keluar dan anjing itupun tidak ada lagi. Dari atas dinding ternyata ada tulisan ‘Blok M A4’.
“Alhamdulillah.......anjing itu membawa berkah, akhirnya aku ketemu dengan alamat yang di KTP ini!, terimakasih ya Allah...”, Ayah dengan mengelus dada.
Dibunyikan kalkson yang ada diluar pagar pintu gerbang, keluarlah seorang pembantu dengan membawa kain lap di atas pundak. Melihat Ayah membawa keranjang, tampak sekali seorang pemulung, akhirnya pembantu itu mengambil sampah yang ada dibelakang dan diberikan kepada Ayah.
“Ini pak!”, pembantu itu memberikan sampah kepada Ayah.
“Maaf bu, saya tidak meminta sampah...kedatangan saya disini hanya mengembalikan dompet ini”, ayah sambil memberikan dompet itu terhadap pembantu tersebut.
Dilihatnya isi dompet oleh pembantu itu.
“Benar ini alamat dan pemilik rumah ini, Bapak dapat dimana dompet ini?”, tanya pembantu dengan penasaran.
“Tadi saat saya ingin mencari sampah, saya berjalan dan melihat dompet ini”, Ayah memberitahu kepada pembantu.
“Baiklah, tunggu sebentar, saya berikan dulu dompet ini dengan Bapak Johan Prasetyo”, pembantu itu meninggalkan Ayah diluar pagar.
Ayah menunggu didepan rumah sambil duduk beristirahat, melepaskan rasa lelah seharian mencari alamat. Didalam rumah, pembantu itu langsung memberikan dompet kepada Bapak Johan Prasetyo.
“Pak...ini ada seorang pemulung yang telah menemukan dompet bapak, dia masih menuggu didepan rumah”, ujar pembantu itu terhadap Bapak Prasetyo.
“Iya betul ini dompet saya, saya tidak tau kalau dompet saya hilang....siapa orang yang menemukan dompet saya?, saya ingin bertemu dengannya...tolong suruh bertemu dengan saya...”, Bapak Prasetyo menyuruh pembantunya.
“Baik pak..”, pembantu itu pergi memanggil Ayah Sanjani.
“Pak....mari ikut saya bertemu dengan Bapak Johan Prasetyo..”, ajak pembantu kepada Ayah Sanjani.
“Saya??”, ayah terheran...
“Iya bapak....mari pak masuk...”, pembantu meyakinkan Ayah.
“Ba...ba...baik..!”, Sedikit gembira karena baru pertama kalinya masuk dan berjumpa dengan orang kaya.
Berjumpalah antara Bapak Johan Prasetyo dan Ayah Sanjani diruang tengah.
“Dengan bapak siapa ini?, ungkap Bapak Johan Praseyto sambil mengulurkan tangan.
“Jaka pak..!”, ungkap Ayah.
“Benar Pak Jaka yang menemukan dompet saya?”, tanya Bapak Johan.
“Iya pak, saya menemukan dompet bapak ditepi jalan ketika saya ingin mencari sampah, langsung saya lihat dan saya antarkan ke alamat rumah sini”, jelas Ayah.
“Luar biasa Bapak Jaka, pekerja keras, semangat, dan jujur...saya salut dengan bapak, jarang ada orang seperti bapak. Bapak tinggal dimana?, bagaimana keadaan keluarga bapak?, siapa tau saya bisa membantu..”, tangkas Bapak Johan.
“Saya tinggal di pelosok Desa Suka Mulya Pak Johan...”, Ayah mengalihkan pandangan dan teringat oleh Sanjani yang benar-benar ingin sekolah.
“Pak...pak Jaka......”, Bapak Johan sambil menyadarkan lamunan Ayah Sanjani dengan tangan.
“Maaf pak...saya ingat dengan anak saya..”, Ayah sadar dari lamunannya.
“Ada apa dengan anak bapak?”, tanya Bapak Johan.
“Putri satu-satunya kami ingin sekali melanjutkan sekolah, dia putus sekolah dibangku SPM kelas 2, tetapi saya belum bisa menyekolahkannya lagi, kami tidak ada biaya”, ujar Ayah Sanjani.
“Kebetulan rumah ini sepi, semenjak menikah saya belum mempunyai anak...boleh juga saya mengangkat anak dari Pak Jaka ini, saya juga ingin menjadikan keluarga Pak Jaka bagian dari keluarga besar saya..., saya ingin membahagiakan orang lain”, dalam hati Bapak Johan berkata.
“Jadi begini Pak Jaka.....saya ingin keluarga Pak Jaka tinggal di rumah saya, saya juga akan menyekolahkan anak bapak, biar semua biaya saya yang menanggung, nanti pak Jaka dan istri bisa meneruskan usaha saya, saya ada membangun pabrik makanan ringan seperti indomie dan snack, nanti Bapak Jaka dan istri yang mengawasi kerja karyawan saya, saya sudah jarang mengawasi mereka, karena sibuk juga di kantor, bagaimana Pak Jaka?”, jelas Bapak Johan.
“Bapak serius?????”, Ayah Sanjani terlena dan bahagia.
“Iya...saya serius....bapak mau?”, tanya Pak Johan.
“Mau pak....terimakasih pak....saya akan memberikan informasi ini kepada keluarga saya”, langsung berjabat tangan kemudian bersujud syukur setelah Ayah Sanjani mendengar berita gembira itu.
****
Pulanglah Ayah Sanjani diantar oleh supir pribadi Bapak Johan ke rumah.
“Assalammualaikum.....!, bu......Sanjani...........”, Ayah berlari masuk di rumah.
“Ada apa yah...?, kok sampai lari begitu?”, Ibu menemui Ayah.
“Panjang ceritanya.....ayo kita pindah....”, Ayah langsung mengemaskan barang-barang.
“Apa maksud Ayah...?, Ibu tidak tahu....jelaskan dulu Ayah..”, Ibu penasaran dengan tingkah Ayah.
Muncul Sanjani dari kamar.
“Ada apa Ibu..Ayah..?, kenapa ribut-ribut..?”, Sanjani terbangun dari tidur.
“Baik, dengarkan Ayah...tadi Ayah dapat dompet di jalan saat pergi kerja, ayah kembalikan di alamat KTP yang ada di dompet, sampai di alamat itu ternyata orang yang punya dompet mengajak kita untuk tinggal di rumahnya, dan kamu Sanjani...kamu akan di sekolahkan,
“Benar Ayah...???”, Sanjani merasa bahagia.
“Iya...makanya ayo kita kemaskan barang-barang dan masukkan di mobil, itu supir Pak Johan pemilik rumah sudah menunggu”, Ayah menjelaskan.
“Alhamdulillah...ya Allah.......ayo nak kita kemaskan barang-barang”, Ibu mengajak Sanjani.
Hari itu juga keluarga Sanjani pindah ke rumah Bapak Johan Prasetyo, menjadilah keluarga besar J2 (Johan Jaka). Hidup bagia dan sentausa, Sanjani bisa mewujudkan impian besarnya untuk sekolah. Tidak merasa kesusahan mencari kebutuhan hidup.
The End
Langganan:
Komentar (Atom)