Senin, 13 Juni 2011

Dompet Keberuntungan

Sanjani seorang anak yang terlahir dari keluarga yang kurang mampu, hidupnya selalu saja kekurangan, tetapi Alhamdulillah meskipun kekurangan masih saja bisa menghidupi keluarga. Anak satu-satunya yang dibanggakan keluarga, tinggal di daerah Sanggau wilayah pedalaman, Desa Suka Mulya sekitar 100 km dari perkotaan. Rumahnya sederhana, terbuat dari papan dan beratapkan daun rumbia, tidak terlalu besar, memilki dua ruang kamar tidur, ruang tengah dan dapur. Jikalau mandi ada dibuatkan sumur dibelakang rumah, lantainya dari susunan kayu untuk melakukan segala aktivitas mandi, mencuci dll, dan sebagai penutup terbuat dari karung bekas. Memiliki sawah warisan dari neneknya seluas 1 hektare untuk keluarga Sanjani.
Sanjani anaknya sangat rajin dan berbakti kepada kedua orang tuanya, sejak kecil Sanjani membantu orang tuanya mengerjakan sawah yang di belakang rumahnya dan mengerjakan rumah, hingga sekarang menginjak usia 14 tahun. Sanjani putus sekolah sejak dibangku SMP kelas 2, orangtuanya tidak sanggup lagi membiayai. Sanjani ingin sekali melanjutkan sekolah seperti kawan-kawan lainnya, memakai seragam sekolah, pergi ke sekolah bersama-sama, tetapi akibat ekonomi yang kurang memadai, Sanjani hanya bisa berdo’a dan berusaha mencukupi kebutuhan hidup semampunya itu saja sudah bersyukur sekali.
Ayahnya hanya seorang pemulung sampah dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Prinsip Sanjani hanyalah membantu orang tua bekerja, tetap semangat, tidak boleh iri dan dengki, sabar dan yakin pasti bisa, butuh kesabaran yang sangat besar dan kuat demi mewujudkan keberhasilan yang dicita-citakannya yaitu melanjutkan pendidikan, karena dengan pendidikan Sanjani bisa menjadi orang yang lebih sukses. Pendidikan sangat penting bagi Sanjani, itulah keinginan besar yang belum bisa terwujudkan.
Sanjani bangun pukul 02:00, lebih awal dari orang tuanya, Sanjani tidak pernah meninggalkan shalat malam.
“Tok......tok.....tok..., Ayah..Ibu...bangun...shalat...”, Sanjani membangunkan orang tuanya ketika akan melaksanakan shalat malam.
“Iya.....”, ujar Ibu langsung terbangun.
“Ayah.....ayo kita shalat...”, ungkap Ibu.
“Iya....”, Ayah beranjak bangun.
****
Usai shalat malam berjama’ah, Sanjani langsung menyediakan masakan dan membereskan rumah. Memasak apa adanya, karena menyiapkan makanan untuk Ayahnya yang akan bekerja. Ayah mulai pergi bekerja dari pukul 04:40 s/d 09:00.
“Ayah......masakan sudah siap.....”, Sanjani memberitahu ayahnya.
“Iya...terima kasih nak..”, ujar Ayah.
“Ya...sama-sama yah..., mari bu...kita makan..”, Sanjani mengajak makan Ibu.
Tidak lama kemudian terdengar kumandang adzhan shubuh.
“Kalau begitu kita shalat shubuh dulu Ayah..Ibu..”, ajak Sanjani.
Mereka melaksanakan kewajiban lima waktunya. Selesai mengerjakan shalat shubuh dilanjutkan dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an dengan suara yang merdu dari mulut Sanjani bersama Ibu. Bagus sekali suara Sanjani, dia belajar dari Ibu dan Ayahnya, mengaji ia lakukan setiap hari, pada akhirnya bisa menghatamkan Al-Qur’an hingga 5 kali katam. Ayah yang mulai bersiap-siap kerja, mulai dari menyiapkan keranjang dll. Berangkatlah Ayah dengan berjalan kaki.
“Ayah pergi dulu bu....Sanjani....”, Ayah bersalaman dengan istri anaknya dan mengucapkan salam.
****
Beres semua pekerjaan rumah, tinggal mengerjakan pekerjaan selanjutnya yaitu membantu orangtuanya untuk menggarap sawah.
Tampak cuaca terang diselimuti embun pagi, sawah-sawah membentang luas, ada orang-orangan sawah di tengah-tengah sawah, jalannya sedikit sempit bertanah hitam, terdengar bunyi suara burung-burung berkicau di sekeliling jalan, bukit-bukit dan pepohonan menambah indahnya suasana di pagi hari. Sanjani dan ibunya mulai bekerja di sawah dan perkebunan lainnya dari pukul 05:30, biasanya pekerjaan sawah dan kebun dibantu oleh Ayahnya tatkala sehabis pulang kerja. Ayahnya pergi bekerja dari malam hingga pagi hari.
Tengah mengerjakan sawah, tiba-tiba ada sekelompok kawan-kawan Sanjani melintas dijalan pinggir persawahan yang akan pergi ke sekolah, ada Susi, Andi, Damar, Laila, dan Setiawan. Jarak sekolah dari rumah mereka sekitar 2 km, mereka selalu bersama-sama berjalan kaki, berangkat dari pukul 06:00.
“Kawan-kawan...........tunggu saya dung!, cepat benar jalannya.....??”, kata Susi sambil berlari mengejar kawan-kawan lainnya yang sudah jalan lebih dulu.
“Cepat sedikitlah Sus, jalanpun kaya bekicot bah!!”, Andi mengolok Susi.
“Maklumlah.....Susikan terlalu kurus.....jadi kalau jalan harus berhati-hati benar...”, sambung Laila yang secara langsung sebenarnya menyindir Susi, Susi yang aslinya berbadan sangat gemuk tetapi dibilang kurus.
“Ngolok pula Laila ni......, jelas-jelas ndak kurus dibilang kurus, gimana??”, gumam Damar.
“Ayo Sus.....kami tunggu, jangan buru-buru...nanti jatoh!”, jelas Setiawan terhadap Susi.
“We..........., memang sesuai namanya, Setiawan....setialah dia anaknya....”, ujar Andi kembali sambil bertepuk tangan.
“Kita sebagai umat manusia ya...sudah semestinya untuk saling membantu....”, Setiawan mengungkapkan.
“Betol.........!”, ucap Andi, Laila, dan Damar serentak.
Mendengar suara gemuruh mereka, Sanjani berhenti sejenak dalam keadaan berdiri dan menatap mereka dengan seksama, memakai tudung yang lebar sambil memegang cangkul. Seolah-olah seperti orang yang kagum terhadap sesuatu dan melamun secara mendadak.
“Kenapa anakku kok melamun??”, dalam hati Ibu Sanjani dengan memandang aneh, bingung anaknya melihat apa.
Tidak tega melihat anaknya lama sekali melamun, Ibu Sanjani mendekati Sanjani. Disentuhlah pinggang Sanjani.
“E.....e...kutu kupret....!!”, latah Sanjani sambil meloncat dengan gerakan seorang bersilat.
“Kenapa nak...?, kok melamun saja dari tadi ibu perhatikan...?”, seorang ibu dengan rasa kasih sayang memeluk anaknya.
“Sanjani melihat anak-anak yang lewat ingin pergi ke sekolah bu....., Sanjani membayangkan kalau yang sekolah itu Sanjani juga....”, jelas Sanjani dengan muka sedih.
“Maafkan ibu dan ayahmu ya nak...., kami tidak bisa menyekolahkan Sanjani lagi, untuk makan sehari-hari saja kita masih kekurangan...., untuk sementara ini kita usaha dulu sekarang, kita kumpulkan biaya, kalau sudah ada nanti biaya itu untuk Sanjani sekolah..., jangan sedih ya nak...., pasti ada jalan kalau ada kemauan yang besar....”, ibu yang berusaha menenangkan pikiran anaknya.
“Iya bu...Sanjani akan besabar dan tetap semangat, Sanjani akan berusaha semampu Sanjani, kalau memang Sanjani bisa sekolah lagi Alhamdulillah, tetapi kalau memang tidak Sanjani ikhlas bu...., terimakasih ya bu....kita hidup bersama-sama saja Sanjani sudah bahagia...”, Sanjani tetap tersenyum terhadap ibunya walaupun itu menyakitkan.
“Sanjani memang anak yang baik nak....,Sanjani anak satu-satunya yang ibu dan ayah banggakan”, ibu memberikan semangat Sanjani.
“Terimakasih bu...”, Sanjani dengan ketabahannya.
****
Sanjani dan Ibunya istirahat pulang ke rumah. Ada Ayah tengah beristirahat duduk didepan rumah sambil meminum secangkir kopi.
“Ayah udah pulang??”, tanya Ibu sambil tersenyum.
“Udah bu, Ayah mau ke kebun tapi letihnya belum sembuh ni....!”, ungkap Ayah sedikit gurauan.
“Ayah istirahat saja dulu....jangan juga dipaksakan untuk kerja kalau masih letih, nanti sakit...!”, Ibu memandang Ayah dengan seksama.
“Ini bu airnya diminum dulu....”, Sanjani menyodorkan ceret yang berisikan air teh hangat dan gelas.
“Terimakasih ya nak...”, Ibu ungkapkan.
“Sama-sama bu......., Sanjani kebelakang dulu bu.....”, ujar Sanjani.
****
Di depan rumah, Ayah dan Ibu Sanjani duduk berdampingan diatas kursi bambu. Depan rumah yang rindang, ada pohon mangga, jambu, pepaya, belimbing, rambutan, dan tanaman bunga-bunga yang indah, membuat suasana rumah menjadi sejuk, indah, nyaman, terasa hidup lebih damai dan sentausa. Menikmati keindahan dan suasana di rumah, Ayah dan Ibu Sanjani membicarakan buah hatinya yang sangat disayanginya, cantik rupawan, kulit putih, rambutnya terurai panjang, mata lentik hidung mancung, baik, rajin, dan pantang menyerah.
“Yah....tadi anak kita tiba-tiba merenungi nasibnya...”, ujar Ibu dengan serius.
“Merenungi apa bu..?”, tanggap Ayah.
“Gini lo yah...., tadi lagi tengah bekerja, tiba-tiba Sanjani berhenti dan melamun, Ibu sentuh pinggangnya malah mau ngajak Ibu silat!”, Ibu sambil tertawa. Ibu perhatikan ternyata melihat anak-anak sekolah yang lagi berangkat sekolah, Ibu tanya Sanjani, kenapa nak?, dia hanya bilang ingin bersekolah seperti kawan-kawan lainnya yah....”, jelas ibu.
“Maafkan Ayah bu...., Ayah sudah berusaha untuk menafkahi keluarga..tapi Ayah belum bisa menyekolahkan anak kita lagi...., Ayah akan tetap berusaha keras agar anak kita bisa sekolah seperti kawan-kawannya yang lain”, tegas Ayah.
“Iya....kita sama-sama bekerja, demi kebahagiaan anak kita yah.....”, Ibu memberikan saran kepada Ayah.
****
Didalam kamar, Sanjani mengambil baju seragam sekolahnya yang sudah lama tersimpan didalam lemari. Ia mencium dan memeluk baju itu penuh dengan rasa sedih, air mata mengalir membasahi baju seragamnya.
“Ya Allah....Sanjani ingin sekolah lagi ya Allah....., tunjukan jalan kepada hambamu ini agar bisa sekolah lagi ya Allah...”, do’a Sanjani penuh perasaan terpukul.
Ibu masuk ke dalam rumah ingin menaruh ceret dan gelas di dapur, terdengarlah suara tangisan Sanjani dari arah kamar.
“Seperti ada suara tangisan?”, ujar ibu mendekati kamar Sanjani.
Belum sempat pergi ke dapur, Ibu langsung memberi tahu Ayah agar tahu kalau Sanjani menangis.
“Ayah..mari ikut Ibu!”, Ibu bergegas mengajak Ayah.
“Ada apa bu?”, Ayah penasaran.
Mereka masuk ke dalam rumah dan mendengarkan tangisan Sanjani dengan mendekatkan telinga di pintu kamar.
“Kenapa anak kita menangis bu?, ayo kita lihat bu..”, ajak Ayah terhadap ibu.
“Ayo yah...”, semangat Ibu ingin masuk.
Dibuka pintu oleh Ayah, terlihat Sanjani menangis dekat jendela sambil berdiri. Mendekatlah mereka kearah Sanjani.
“Jangan sedih nak.....nanti Sanjani pasti bisa sekolah lagi”, Ibu memeluk Sanjani.
“Ibu.......”, Sanjani melepaskan rasa sedih kepada Ibunya.
Melihat Sanjani dan Ibu berpelukan, Ayah juga ikut merangkul mereka berdua.
“Ya sudah.....Sanjani tetap semangat ya nak.....pasti Sanjani bisa sekolah lagi, Ayah janji akan berusaha semampu Ayah”, Ayah mendukung Sanjani.
“Terimakasih Ayah...Ibu....”, tampak Sanjani sudah tidak sedih lagi.
****
Esok hari, dengan mengucapkan ‘ بسم الله الر حمن الر حيم’ Ayah pergi bekerja, tidak lupa untuk berjabat tangan dengan istri dan anak. Membawa keranjang yang ditaruh belakang punggung dan alat besi panjang untuk mengais sampah, memakai topi dan kaos tangan. Tengah perjalanan, Ayah menemukan sebuah dompet berwarna coklat tua.
“Dompet siapa ini?, kok bisa disini?”, Ayah terheran.
Dibuka isi dompet ternyata dompet berisikan uang sejumlah 5 juta, ATM Mandiri, KTP yang berinisial dengan nama Johan Prasetyo, 40 tahun, beralamatkan Jl. Perdana blok M no. A4 dan masih ada kartu-kartu lainnya.
“SubhanaAllah....dimana pemilik dompet ini?, aku harus mengembalikan dompet ini, pasti sangat berharga sekali bagi pemiliknya”, Ayah bergegas mencari alamat yang tertera di KTP.
Karena tidak tau harus menuju ke arah mana, Ayah terus berjalan sampai berjam-jam. Rasa letih, panas, keringat bercucuran, muka memerah, semua dirasakan oleh Ayah. Tapi tidak membuat Ayah berputus asa. Ayah terus berjalan, kanan-kiri Ayah memperhatikan mencari alamat, sambil bertanya-tanya kepada orang sekitar banyak tidak tau. Detik terakhir orang yang ke-10 Ayah bertanya.
“Permisi...bang, saya ingin bertanya, tau alamat ini bang?”, Ayah menyodorkan alamat yang di KTP.
“Jl. Perdana blok M no A4, ow.....Bapak jalan saja terus kedepan....nanti ada simpang tiga Bapak belok kiri, bujur.....sampai Bapak temukan Jl. Perdana sebelah kanan, kalau sudah ketemu tinggal Bapak cari no rumahnya....”, jelas seorang pria yang tengah makan mie ayam.
“Baik, terimakasih ya nak......”, ungkap Ayah beranjak pergi.
“Sama-sama pak, hati-hati pak...!.”, pria itu memberi semangat Ayah sambil melanjutkan makannya.
****
Berjalan lagi Ayah sampai menemukan jalan yang ditunjukan oleh seorang pria tadi, dengan rasa sabar dan semangat akhirnya sampai dialamat Jl. Perdana.
“Alhamdulillah....ini dia Jl. Perdana....tinggal cari rumahnya..!”, Ayah dengan semngat luar biasa.
Tinggal satu langkah lagi Ayah mencari rumah, ada seekor anjing dari arah belakang, anjing itu mengejar Ayah tengah asyik melihat rumah-rumah yang berjejer bagus, besar dan mewah.
“Guk.....guk.....guk......!”, anjing itu mengejar ke arah Ayah.
Ayah langsung berlari terbirit-birit dan hampir terjatuh. Laju Ayah berlari, Ayah bersembunyi di tepi dinding pagar agar tidak dikejar anjing itu, Ayah mengintip keluar dan anjing itupun tidak ada lagi. Dari atas dinding ternyata ada tulisan ‘Blok M A4’.
“Alhamdulillah.......anjing itu membawa berkah, akhirnya aku ketemu dengan alamat yang di KTP ini!, terimakasih ya Allah...”, Ayah dengan mengelus dada.
Dibunyikan kalkson yang ada diluar pagar pintu gerbang, keluarlah seorang pembantu dengan membawa kain lap di atas pundak. Melihat Ayah membawa keranjang, tampak sekali seorang pemulung, akhirnya pembantu itu mengambil sampah yang ada dibelakang dan diberikan kepada Ayah.
“Ini pak!”, pembantu itu memberikan sampah kepada Ayah.
“Maaf bu, saya tidak meminta sampah...kedatangan saya disini hanya mengembalikan dompet ini”, ayah sambil memberikan dompet itu terhadap pembantu tersebut.
Dilihatnya isi dompet oleh pembantu itu.
“Benar ini alamat dan pemilik rumah ini, Bapak dapat dimana dompet ini?”, tanya pembantu dengan penasaran.
“Tadi saat saya ingin mencari sampah, saya berjalan dan melihat dompet ini”, Ayah memberitahu kepada pembantu.
“Baiklah, tunggu sebentar, saya berikan dulu dompet ini dengan Bapak Johan Prasetyo”, pembantu itu meninggalkan Ayah diluar pagar.
Ayah menunggu didepan rumah sambil duduk beristirahat, melepaskan rasa lelah seharian mencari alamat. Didalam rumah, pembantu itu langsung memberikan dompet kepada Bapak Johan Prasetyo.
“Pak...ini ada seorang pemulung yang telah menemukan dompet bapak, dia masih menuggu didepan rumah”, ujar pembantu itu terhadap Bapak Prasetyo.
“Iya betul ini dompet saya, saya tidak tau kalau dompet saya hilang....siapa orang yang menemukan dompet saya?, saya ingin bertemu dengannya...tolong suruh bertemu dengan saya...”, Bapak Prasetyo menyuruh pembantunya.
“Baik pak..”, pembantu itu pergi memanggil Ayah Sanjani.
“Pak....mari ikut saya bertemu dengan Bapak Johan Prasetyo..”, ajak pembantu kepada Ayah Sanjani.
“Saya??”, ayah terheran...
“Iya bapak....mari pak masuk...”, pembantu meyakinkan Ayah.
“Ba...ba...baik..!”, Sedikit gembira karena baru pertama kalinya masuk dan berjumpa dengan orang kaya.
Berjumpalah antara Bapak Johan Prasetyo dan Ayah Sanjani diruang tengah.
“Dengan bapak siapa ini?, ungkap Bapak Johan Praseyto sambil mengulurkan tangan.
“Jaka pak..!”, ungkap Ayah.
“Benar Pak Jaka yang menemukan dompet saya?”, tanya Bapak Johan.
“Iya pak, saya menemukan dompet bapak ditepi jalan ketika saya ingin mencari sampah, langsung saya lihat dan saya antarkan ke alamat rumah sini”, jelas Ayah.
“Luar biasa Bapak Jaka, pekerja keras, semangat, dan jujur...saya salut dengan bapak, jarang ada orang seperti bapak. Bapak tinggal dimana?, bagaimana keadaan keluarga bapak?, siapa tau saya bisa membantu..”, tangkas Bapak Johan.
“Saya tinggal di pelosok Desa Suka Mulya Pak Johan...”, Ayah mengalihkan pandangan dan teringat oleh Sanjani yang benar-benar ingin sekolah.
“Pak...pak Jaka......”, Bapak Johan sambil menyadarkan lamunan Ayah Sanjani dengan tangan.
“Maaf pak...saya ingat dengan anak saya..”, Ayah sadar dari lamunannya.
“Ada apa dengan anak bapak?”, tanya Bapak Johan.
“Putri satu-satunya kami ingin sekali melanjutkan sekolah, dia putus sekolah dibangku SPM kelas 2, tetapi saya belum bisa menyekolahkannya lagi, kami tidak ada biaya”, ujar Ayah Sanjani.
“Kebetulan rumah ini sepi, semenjak menikah saya belum mempunyai anak...boleh juga saya mengangkat anak dari Pak Jaka ini, saya juga ingin menjadikan keluarga Pak Jaka bagian dari keluarga besar saya..., saya ingin membahagiakan orang lain”, dalam hati Bapak Johan berkata.
“Jadi begini Pak Jaka.....saya ingin keluarga Pak Jaka tinggal di rumah saya, saya juga akan menyekolahkan anak bapak, biar semua biaya saya yang menanggung, nanti pak Jaka dan istri bisa meneruskan usaha saya, saya ada membangun pabrik makanan ringan seperti indomie dan snack, nanti Bapak Jaka dan istri yang mengawasi kerja karyawan saya, saya sudah jarang mengawasi mereka, karena sibuk juga di kantor, bagaimana Pak Jaka?”, jelas Bapak Johan.
“Bapak serius?????”, Ayah Sanjani terlena dan bahagia.
“Iya...saya serius....bapak mau?”, tanya Pak Johan.
“Mau pak....terimakasih pak....saya akan memberikan informasi ini kepada keluarga saya”, langsung berjabat tangan kemudian bersujud syukur setelah Ayah Sanjani mendengar berita gembira itu.
****
Pulanglah Ayah Sanjani diantar oleh supir pribadi Bapak Johan ke rumah.
“Assalammualaikum.....!, bu......Sanjani...........”, Ayah berlari masuk di rumah.
“Ada apa yah...?, kok sampai lari begitu?”, Ibu menemui Ayah.
“Panjang ceritanya.....ayo kita pindah....”, Ayah langsung mengemaskan barang-barang.
“Apa maksud Ayah...?, Ibu tidak tahu....jelaskan dulu Ayah..”, Ibu penasaran dengan tingkah Ayah.
Muncul Sanjani dari kamar.
“Ada apa Ibu..Ayah..?, kenapa ribut-ribut..?”, Sanjani terbangun dari tidur.
“Baik, dengarkan Ayah...tadi Ayah dapat dompet di jalan saat pergi kerja, ayah kembalikan di alamat KTP yang ada di dompet, sampai di alamat itu ternyata orang yang punya dompet mengajak kita untuk tinggal di rumahnya, dan kamu Sanjani...kamu akan di sekolahkan,
“Benar Ayah...???”, Sanjani merasa bahagia.
“Iya...makanya ayo kita kemaskan barang-barang dan masukkan di mobil, itu supir Pak Johan pemilik rumah sudah menunggu”, Ayah menjelaskan.
“Alhamdulillah...ya Allah.......ayo nak kita kemaskan barang-barang”, Ibu mengajak Sanjani.
Hari itu juga keluarga Sanjani pindah ke rumah Bapak Johan Prasetyo, menjadilah keluarga besar J2 (Johan Jaka). Hidup bagia dan sentausa, Sanjani bisa mewujudkan impian besarnya untuk sekolah. Tidak merasa kesusahan mencari kebutuhan hidup.

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar